PADA 2018, terjadi kegaduhan karena gaji seorang pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai tidak wajar. Waktu itu, Yudi Latif, seorang cendekiawan Islam berintegritas, menjabat sebagai Kepala BPIP.
Setelah kegaduhan dan protes publik yang cukup masif saat itu, Yudi Latif mundur sebagai Kepala BPIP. Mundurnya Yudi Latif membuat saya pribadi waktu itu menyebutnya sebagai teladan etika bagi seorang pejabat.
Yudi Latif mungkin tidak mengusulkan gaji besar itu, karena BPIP bukan Lembaga yang berwenang menentukan anggaran. Namun etika dan integritasnya sebagai seorang pejabat, dia mengundurkan diri.
Pejabat yang bertanggungjawab dan mempunyai sensitifitas atas aspirasi publik semacam itu mungkin sudah tidak ada lagi di zaman ini.
Peristiwa itu bisa dikatakan langka yang dilakukan oleh pejabat Indonesia. Yudi memberikan contoh bagaimana seorang pejabat ketika diprotes oleh rakyat, walaupun itu bukan kesalahan dirinya, tetapi menyangkut lembaga yang dipimpinnya, dia kemudian mengundurkan diri.
Inilah standar etik bagi seorang pejabat publik yang melaksanakan mandat rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.
Lebih khusus lagi kepada mereka yang memimpin lembaga negara, etika harus menjadi pegangan utama untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.
Tidak perlu harus menunggu sidang etik dari dewan pengawas, mahkamah etik, atau apapun namanya. Kalau merasa kepercayaan publik sudah semakin merosot, maka secara etik seorang pejabat harus sadar diri.
Untuk membuktikan kepercayaan publik tidak perlu menunggu hasil survei.
Kearifan yang dicontoh Yudi Latif telah hilang hampir di seluruh pejabat di lembaga negara, tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat hilangnya kearifan itu, saban hari KPK dirundung masalah etik.
Berkali-kali pimpinan KPK melakukan pelanggaran cukup serius. Bahkan di tubuh KPK ada pungutan liar, ada dugaan pemerasan, ada gratifikasi dan berbagai bentuk kejahatan korupsi lainnya.
Pelanggaran dan kejahatan di tubuh KPK terjadi bersamaan setelah dilembagakannya dewan pengawas KPK. Ini menjadi anomali yang cukup serius.
Ketika semua lembaga negara membentuk dewan etik, dewan kehormatan, atau dewan pengawas secara internal maupun eksternal, pelanggaran etik justru terjadi kian parah.
Standar etika diukur dengan norma, seakan-akan pelanggaran itu adalah legal dan wajar dalam tiap pejabat yang memimpin lembaga negara. Legalitas pelanggaran etik ini menjadikan etika hanya sebatas norma, padahal etika tidak sama dengan norma.
Etika memiliki standar tinggi, dia menuntut dari pejabatnya kearifan dan kebijaksanaan, bukan sekadar legalitas. Etika tidak bisa dijangkau oleh standar etik menurut UU atau kode etik kelembagaan, karena menyangkut nilai dan moralitas.