JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi profesi dan kolegium dokter spesialis paru diminta membagikan ilmu kepada dokter-dokter di Puskesmas tentang penyakit paru, sebagai upaya penanganan dampak dari polusi udara di kawasan Jabodetabek.
"Kita sudah meminta organisasi profesi dan kolegium dokter spesialis paru untuk mendidik dokter-dokter Puskesmas agar paham tentang penyakit paru, karena kalau ISPA bisa ditangani di Puskesmas dan kita pastikan alat-alatnya juga ada," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Gedung DPR, pada Rabu (30/8/2023).
"Kalau masuk kasus pneumonia itu harus ke rumah sakit, itu harus di rontgen, itu juga kita pastikan seluruh rumah sakit Jabodetabek bisa,” sambung Budi.
Kementerian Kesehatan, kata Budi, telah menyiapkan 740 fasilitas kesehatan di Jabodetabek sebagai antisipasi dampak polusi terhadap kesehatan masyarakat.
Baca juga: Di Hadapan Menkes, Pimpinan Komisi IX Usul Bentuk Pansus Atasi Polusi Udara
Budi mengatakan, fasilitas kesehatan yang disiapkan terdiri dari 674 Puskesmas di Jabodetabek, 66 rumah sakit Jabodetabek dan Rumah Sakit Persahabatan sebagai Pusat Respirasi Nasional.
Dari 674 Puskesmas yang disiapkan untuk menangani masyarakat yang terdampak polusi udara, tersebar ke beberapa Kabupaten/Kota.
Yakni DKI Jakarta 333, Kabupaten Tangerang 44, Kota Tangerang 39, Kota Depok 38, Kota Bogor 25, Kabupaten Bogor 101, Kota Bekasi 48, Kabupaten Bekasi 46.
Selain menyiapkan fasilitas kesehatan, upaya promotif dan preventif dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tanda-tanda gejala terinfeksi penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga perlu digalakkan.
Baca juga: Kasus ISPA Meningkat Seiring dengan Polusi Udara, Menkes: Jadi Tugas Berat untuk Pak Heru
Dia mengaku telah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang akan menerapkan cara seperti di China tersebut.
Budi melihat negara-negara pada dasarnya butuh waktu selama 25 tahun untuk menurunkan tingkat polusi udara, tetapi China disebutnya hanya perlu waktu 6-7 tahun.
Rupanya, jelas Budi, kerja keras menurunkan tingkat polusi udara itu dilakukan China karena tak ingin negaranya dirundung oleh dunia. Sebab, waktu itu China menjadi tuan rumah Olimpiade di Beijing pada 2022.
Mereka tak ingin mendapat kritik karena masalah polusi udara.
Baca juga: Sampai Ratas 2 Kali dengan Presiden Bahas Polusi Udara, Menkes: Belanja BPJS Pasti Naik
"Dia enggak ingin di-bully sama dunia internasional dan 7 tahun (polusi) turun, itu the best in the world," papar Budi.
Lebih jauh, Budi mengatakan bahwa China menggunakan metode yang sama dalam penanganan penularan Covid-19, yaitu memaksimalkan surveilans dan testing.
Menurut Budi, China memasang 1.000 alat monitor kualitas udara dengan harga terjangkau. Alat ini digunakan untuk memantau hotspot polusi.
"Dia pasang 1.000 alat monitor dengan kualitas sedang. Jadi enggak usah yang harus mahal-mahal, tapi yang penting jangkauannya ada di seluruh kota dipasang 1.000 untuk memantau," jelas Budi.
Baca juga: Menkes Sarankan Pemakaian Masker KF94 atau KN95 untuk Hadapi Polusi Udara
Apabila terdeteksi hotspot polusi, terang dia, kendaraan mobile reference monitor diterjunkan ke lokasi untuk menganalisis mendalam terkait sumber polutan. Kemudian, analisis data kualitas udara digital yang terpusat dilakukan.
"Kalau dipantau ternyata (kualitas udara) jelek, dia kirim mobil-mobilnya ini mungkin bisa ngecek sumbernya dari mana. Apakah ini sumbernya misalnya oh Bekasi jelek, kirim mobil. Apakah sebenarnya PLTU, oh bukan, ternyata dari pembakaran sampah Bantar Gebang. Itu sebabnya dari transportasi atau sampah, oh ini penyebabnya dari PLTU," tutur Budi.
(Penulis : Nicholas Ryan Aditya | Editor : Diamanty Meiliana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.