JAKARTA, KOMPAS.com - Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Menolak Lupa memperingati ulang tahun ke-60 penyair dan aktivis Wiji Thukul di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2023).
Dalam peringatan kali ini, ada sejumlah kegiatan yang dilakukan, antara lain pembacaan puisi karya Wiji Thukul, penampilan musik, dan pemutaran film "Istirahatlah Kata-kata".
Film ini menceritakan hari-hari Wiji Thukul saat menjalani hidup dalam pelariannya hingga menghilang sampai saat ini.
Baca juga: Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Tahun 98 dan Belum Ditemukan
Ketua pelaksana acara Wilson mengatakan, peringatan ulang tahun ke-60 Wiji Thukul berlangsung menjelang momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Ini seperti menjadi momen yang tepat untuk kembali mengingatkan negara agar tak lupa menuntaskan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM lainnya di negeri ini," kata Wilson kepada wartawan seusai acara.
"Tentu penyelesaian akan semakin sulit bila tokoh yang pernah terlibat dalam penghilangan paksa, menjadi pemimpin di negeri ini. Tentu kami tidak ingin hal ini terjadi," lanjut dia.
Dia pun menegaskan, para aktivis ingin tetap melanjutkan semangat yang diinisiasi oleh Wiji Thukul.
Baca juga: Makna Puisi Peringatan Karya Wiji Thukul
Karena itu, ada satu pesan penting yang disampaikan, yakni tidak memberikan ruang untuk calon pemimpin yang terlibat dalam penculikan para aktivis di masa lalu.
"Melanjutkan api semangat yang dikobarkan Wiji Thukul, pada peringatan ulang tahunnya ini kami ingin menegaskan: kalahkan capres penculik," kata Wilson.
"Selamat ulang tahun Wiji Thukul. Lihatlah, kami masih ada dan berlipat ganda," tambah dia.
Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah.
Ia tumbuh dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah rakyat jelata. Banyak yang berprofesi sebagai buruh, juga tukang becak.
Sejak SD, Wiji sudah menulis puisi. Ketika duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik pada dunia teater.
Saat dewasa, puisi-puisi Wiji Thukul menjelma sebagai simbol perlawanan gerakan mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Puisinya kerap bergema dalam berbagai aksi massa.