JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak dulu, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun dikenal tak seperti pesantren pada umumnya.
Laporan Harian Kompas 16 Desember 2000 menyebutkan, di kompleks pesantren ini tidak ada seorang pun santri yang mengenakan sarung dan peci seperti lazimnya. Namun, hanya ada remaja berusia 11-14 tahun yang berpakaian rapi dan modern.
Para pendidiknya, ratusan sarjana terpilih yang fasih berbahasa Inggris dan Arab. Dalam mengajar sehari-hari, mereka mengenakan pakaian resmi jas, dasi, dan peci.
Baca juga: Menko PMK Sebut Al Zaytun Tak Sekadar Ponpes, tapi Seperti Komune
Pola pendidikan di ponpes yang terletak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini pun termasuk unik dan jarang dilakukan pesantren lain. Santri yang baru lulus sekolah dasar (SD) atau berumur sekitar 11-13 tahun diterima masuk pesantren untuk mengikuti pendidikan selama enam tahun.
Setiap santri yang akan mengikuti pendidikan tidak perlu membayar uang pangkal, uang bangunan atau berbagai pungutan lainnya, tetapi cukup menyerahkan seekor sapi dewasa yang sudah berproduksi.
Jika tak mau repot membawa sapi, bisa menitipkan uang kepada pengelola pesantren seharga sapi saat itu, yakni Rp 6 juta. Selain itu, santri diminta berinfak Rp 3 juta untuk biaya administrasi, pembelian seragam, perlengkapan mandi, piring, sendok, gelas hingga buku-buku untuk santri.
Baca juga: Bareskrim Bakal Gelar Perkara Kasus Ponpes Al-Zaytun Selasa Pekan Depan
Jumlah tersebut bukan biaya yang kecil saat itu. Namun demikian, para santri hanya diminta menyumbang sekali selama mengikuti pendidikan 6 tahun di Al Zaytun.
Dengan biaya tersebut, santri tidak hanya mendapatkan fasilitas pendidikan. Tetapi juga kebutuhan sehari-hari selama enam tahun mulai dari makan hingga pembelian buku ditanggung pengelola pesantren.
Kurikulum pendidikan di pesantren dirancang sangat padat. Waktu belajar dimulai sejak pukul 03.30 dini hari, ketika santri dibangunkan untuk shalat Subuh dan dilanjutkan dengan tahfidz Al Quran hingga pukul 06.00.
Pukul 07.00 hingga pukul 12.00, santri mengikuti pendidikan formal dan sore harinya belajar mufrodat atau kosa kata dan percakapan bahasa Arab.
Lantas, selepas shalat Magrib, santri belajar tahfidz atau menghafal Al Quran yang dilanjutkan dengan belajar masing-masing di dalam kamar.
Meski belajar mandiri, santri tak bisa main-main karena setiap kamar yang dihuni 10 orang diawasi seorang ustaz atau pamong didik yang bertindak sebagai guru sekaligus orangtua santri.
Terkait pendidikan formal, materi yang diberikan tidak semata-mata pelajaran agama, tetapi lebih banyak materi umum. Pelajaran matematika dan bahasa Inggris, misalnya, sangat diprioritaskan sehingga mendapat alokasi waktu enam jam per minggu, sedangkan fisika dan biologi waktunya empat jam per minggu.
Saat itu, santri juga mendapat materi pelajaran hak asasi manusia (HAM) dan sejarah yang alokasi waktunya dua jam per minggu.
Baca juga: Mengurai Jejak Panji Gumilang dan Al Zaytun dalam Jaringan NII
Ada metode penghargaan unik yang diberikan ke santri ketika itu. Penilaian terhadap santri dilakukan setiap semester dan santri yang berprestasi diberi hadiah uang minimal Rp 1,5 juta.