JAKARTA, KOMPAS.com - Skuadron Udara 1/Elang Khatulistiwa yang berbasis di Pangkalan Udara (Lanud) Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, akan menjadi markas jet tempur Mirage 2000-5.
Adapun Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah meneken kontrak untuk mendatangkan 12 Mirage bekas Qatar Air Force (QAF) sebesar 733.000.000 euro atau Rp 11,8 triliun lebih.
Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan Brigjen Edwin Adrian Sumantha menyebut saat ini status kontrak pengadaan Mirage dalam proses efektif kontrak.
"Direncanakan pesawat akan dikirimkan 24 bulan setelah kontrak efektif dan akan ditempatkan di Skadron Udara 1, Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat," kata Edwin, Rabu (14/6/2023).
Baca juga: Kilah RI Beli Mirage Bekas: Akuisisi SU-35 Terancam Sanksi AS hingga Faktor Kesiapan Tempur
Adapun pengadaan 12 Mirage terdiri atas sembilan jet bertempat duduk tunggal dan tiga pesawat bertempat duduk ganda.
Pengadaan tersebut juga sudah termasuk paket pendukungnya. Antara lain, 14 engine and T-cell, technical publications, dan GSE.
Kemudian spare, test benches, A/C delivery, FF & insurance, dukungan servis selama tiga tahun, pelatihan pilot, teknisi, dan infrastrukur, serta persenjataan.
Edwin menjelaskan bahwa alasan Kemenhan membeli jet Mirage bekasi dari Qatar karena Indonesia membutuhkan alutsista pesawat tempur yang bisa melaksanakan delivery secara cepat.
Baca juga: Kemenhan Sebut 12 Jet Mirage Bekas Qatar Dikirim 24 Bulan Setelah Kontrak Efektif
Langkah ini diambil guna menutupi penurunan kesiapan tempur di tubuh TNI Angkatan Udara karena banyaknya pesawat tempur yang habis masa pakainya.
Seperti jet kombatan F-5 E/F Tiger II, misalnya. Pesawat ini sudah purna tugas sejak 2017 setelah kali pertama mendarat di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, pada 21 April 1980.
Usai pensiun, pemerintah langsung berencana mendatangkan SU-35 Sukhoi dari Rusia sebagai pengganti F-5.
Rencana tersebut pun dieksekusi lewat teken kontrak antara Indonesia dan Rusia untuk pengadaan 11 SU-35 Sukhoi pada 2018.
Namun, rencana tersebut hingga kini urung terealisasi karena terkendala faktor instrumen hukum Amerika Serikat, yakni Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) dan OPAC List.
Adapun CAATSA merupakan aturan yang disahkan pemerintahan AS ketika masih di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Baca juga: Alasan Kemenhan Beli 12 Jet Mirage Bekas dari Qatar: Banyak Pesawat Tempur Habis Masa Pakai
Lewat aturan ini, AS kerap memberikan sanksi kepada negara mitranya yang membeli alat utama sistem senjata (alutsista) dari Rusia.