Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Netralitas Presiden Dikritik, KSP: Jokowi Bukan Ketum Parpol seperti SBY-Megawati

Kompas.com - 09/05/2023, 09:20 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, Presiden Joko Widodo bukan seorang ketua umum (ketum) partai politik (parpol) yang bisa menentukan pencalonan presiden dan wakil presiden.

Hal itu disampaikannya menanggapi kritik sejumlah pihak terhadap Presiden Jokowi yang dinilai terlalu ikut campur persiapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

"Kan Jokowi bukan ketum parpol seperti SBY kan, Jokowi bukan Ketum parpol seperti Megawati (saat) jadi presiden kan Jokowi bukan ketum parpol lho. Jokowi tak punya kewenangan untuk menentukan siapa jadi calon presiden (capres) dari parpol," ujar Ngabalin saat dikonfirmasi pada Senin (8/5/2023).

Baca juga: Tak Ada Nama Anies di Bursa Capres Versi Musra Relawan Jokowi

Ngabalin menuturkan, apabila ada parpol yang meminta pandangan dan mengkomunikasikan mengenai politik dengan Jokowi menurutnya tidak salah.

Selain itu, jika para ketum parpol bertemu di Istana menurutnya bukan merupakan kesalahan.

Ngabalin menilai, istana merupakan tempat untuk membicarakan beragam persoalan bangsa, termasuk persolan politik.

"Istana itu kan tempat untuk membicarakan seluruh persoalan kepentingan bangsa dan negara. Orang berantem di lapangan aja bicaranya di istana," ungkap Ngabalin.

Baca juga: PDI-P Bantah Pertemuan Jokowi dan Ketum Parpol Koalisi di Istana Bahas Cawapres

"Orang bahas soal pembantaian di Papua, pertemuan Jokowi dengan buruh, dengan sopir angkot pun di istana. Di mana salahnya, apa masalahnya dengan istana?" lanjutnya.

Sementara itu, dalam konteks menjelang Pemilu 2024 ada persoalan politik dan keamanan yang perlu dibicarakan bersama.

Ngabalin meminta publik menempatkan pembahasan pemilu sebagai persoalan bangsa dan negara.

"Mari ditempatkan posisinya sebagai persoalan bangsa dan negara. Kalau terjadi apa-apa dengan situasi keamanan, masalah politik di tanah air, masalah pemilu, yang bertanggung jawab itu kepala pemerintahan lho," katanya.

Baca juga: Meski Dukung Ganjar Capres, PSI Masih Tunggu Sinyal dari Jokowi

"Artinya kalau nanti ada yang enggak beres pasti disalahkan itu. Itu yang kadang kita enggak mengerti," tambahnya.

Diketahui, netralitas Presiden Jokowi menjelang Pemilu 2024 menjadi sorotan setelah dirinya mengumpulkan ketua umum partai politik pendukung pemerintah di Istana, kecuali Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

Jokowi mengakui bahwa Surya Paloh tidak diundang dalam pertemuan itu karena Nasdem sudah mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden.

"Nasdem itu, ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri. Dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerjasama politik yang lain," kata Jokowi pada Kamis (4/5/2023) lalu.

Baca juga: Jokowi Dikritik karena Sibuk Urus Capres 2024, Gerindra: Dia Tak Intervensi Parpol

Jokowi lantas mengklaim, ia tidak ikut campur soal pencalonan presiden dan wakil presiden karena hal itu adalah kewenangan partai politik.

Langkah Jokowi ini lantas mengundang kritik dari sejumlah pihak, termasuk Jusuf Kalla.

Menurut JK, sapaan akrab Jusuf Kalla, Jokowi harus meniru sikap pendahulunya, yakni Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menjelang masa akhir jabatannya.

"(Megawati dan SBY) itu (ketika jabatan) akan berakhir maka tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam, suka atau tidak suka, dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah,” kata Jusuf Kalla, Sabtu (6/5/2023).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com