PADA 4 Mei 2023 yang lalu, Presiden Joko Widodo telah mengirim Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset terkait Tindak Pidana kepada DPR dengan surat nomor R-22/Pres/05/2023.
Pada surat tersebut Presiden menugaskan Menko Polhukam dan Menkumham, Jaksa Agung, dan Kapolri yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Hal ini merupakan tindak lanjut dari wacana RUU Perampasan Asset Tindak Pidana yang pernah disampaikan Presiden Jokowi dalam konferensi persnya bersama Jaksa Agung, Menko Polhukam, Ketua KPK, dan Kapolri pada tanggal 8 Februari 2023 lalu.
Jika melihat perjalanan isu RUU Perampasan Aset ini, pada masa pemerintahan SBY, tepatnya pada Oktober 2012, pemerintah melalui Kemenkumham telah menyusun Naskah Akademik RUU ini.
Namun, usulan pembentukan RUU tersebut baru mendapat respons positif pada akhir masa kepemimpinan Jokowi atau pada tahun politik sebagai inisiatif pemerintah.
Sebagai pertimbangan dalam rumusan RUU Perampasan Aset, terdapat satu norma yang secara prinsipil telah diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu norma kekayaan yang tidak wajar atau dikenal dengan istilah “illicit enrichment”.
Prinsip-prinsip yang mempunyai kemiripan dengan norma illicit enrichment terdapat pada UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta aturan hukum lainnya yang terkait.
Secara historis, masalah illicit enrichment menjadi bagian dalam pembahasan pada Konvensi PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang disahkan di Merida, Mexico, pada 2003. Indonesia merupakan salah satu negara pihak yang ikut menandatangani dan meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.
Sebagai negara peserta UNCAC, dan meskipun Indonesia telah meratifikasinya, namun ketentuan tentang illicit enrichment belum menjadi delik pidana dalam sistem hukum dan UU yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi.
Pengaturan tentang illicit enrichment memang sebuah kebutuhan yang nyata dalam pemberantasan korupsi.
Demikian juga dalam konteks Indonesia, terutama jika ditempatkan sebagai pendekatan baru dalam pemberantasan korupsi yang tidak hanya menjadikan orang atau pelaku sebagai target, tetapi juga pengembalian aset yang telah terampas dengan strategi “follow the money”.
Setidaknya ada 5 (lima) unsur penting dalam illicit enrichment, yakni: subjeknya adalah pejabat publik/pegawai negeri/penyelenggara negara; memperkaya diri atau memiliki kekayaan yang meningkat/ bertambah secara signifikan; yang bersangkutan tidak dapat menjelaskannya secara wajar (peningkatan kekayaan); peningkatan kekayaan terjadi akibat perbuatannya; dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
Untuk hal ini, hak kepemilikan seseorang juga harus tetap diberikan perlindungan sebagai bagian dari bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagai bentuk dari penerapan asas presumption of Innocence (praduga tidak bersalah) dan non self incrimination (hak terdakwa untuk tidak menjerat atau mengkriminalisasi dirinya sendiri).
Terkait dengan beban pembuktian, dalam perspektif hukum pidana, pembuktian dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: beban pembuktian umum (pada Penuntut Umum), beban pembuktian terbalik (shifting burden of proof), dan beban pembuktian berimbang.
Dalam sistem hukum di Indonesia, pengaturan tentang beban pembuktian masih sangat konvensional dengan pendekatan legisme yang terkadang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.
Dalam peraturan acara pidana di Indonesia, terdapat ketidakjelasan perumusan norma pembalikan beban pembuktian.
Di satu sisi beban pembuktian pada penuntut umum yang didasarkan Pasal 66 KUHAP, yaitu: “terdakwa tidak dikenakan beban pembuktian”, dan Pasal 31 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “terdakwa memiliki hak untuk membuktikan dalam sidang pengadilan”, yang memberikan ruang pembuktian terbalik.
Penggunaan UU TPPU dan UU Pemberantasan Korupsi masih terdapat kerumitan dalam hal pembuktian, seperti: harus dibuktikannya “upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan”, yang diatur dalam UU TPPU.
Hal ini biasanya dibuktikan dari tidak dilaporkannya uang atau kekayaan tertentu di LHKPN, pembelian aset atas nama orang lain dan kerjasama dengan notaris, atau transaksi melalui korporasi dengan menyamarkan sumber dana.
Akan menjadi masalah jika semua upaya menyamarkan itu tidak dilakukan, tetapi justru kekayaan signifikan pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam kurun waktu tertentu dilaporkan meningkat secara signifikan tanpa dapat dipertanggungjawabkan apakah berasal dari penghasilan yang sah atau tidak.
Di titik inilah dibutuhkan sebuah undang-undang khusus yang secara lex specialis dapat merampas kekayaan pejabat negara yang mengalami peningkatan signifikan akan tetapi tidak dapat dijelaskan berasal dari penghasilan yang sah.