JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera melakukan revisi terhadap undang-undang larangan kepemilikan senjata api, berkaca dari kasus penjualan senjata api dan amunisi oleh prajurit TNI kepada kelompok separatis di Papua.
Selain itu, kata Al Araf, kasus kepemilikan sejumlah senjata api yang diduga ilegal oleh Dito Mahendra juga patut dijadikan alasan oleh pemerintah dan DPR supaya segera merevisi beleid itu.
"DPR dan pemerintah harus segera membuat undang-undang kontrol peredaran senjata api yang baru, karena undang-undang yang lama sudah tidak kontekstual yang dibuat pada masa Orde Lama," kata Al Araf saat dihubungi pada Minggu (7/5/2023).
Saat ini penggunaan senjata api di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api serta UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Akan tetapi, warga sipil diizinkan memiliki senjata api berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamanan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI.
Dalam aturan itu disebutkan lima kategori perorangan atau pejabat yang diperbolehkan memiliki senjata api yakni pejabat pemerintah, pejabat swasta, pejabat TNI/Polri, purnawirawan TNI/Polri.
Selain itu terdapat aturan tentang kepemilikan senjata api khusus olahraga, yakni melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga.
Menurut Al Araf, revisi undang-undang itu sudah mendesak karena isu senjata api dan peredaranya mengalami perkembangan yang lebih kompleks.
Baca juga: Panglima TNI Sebut Penjualan Senpi oleh Oknum Prajurit Meningkat, Papua Mendominasi
Di sisi lain, Al Araf menilai kasus peredaran senjata api yang melibatkan aparat TNI sangat memprihatinkan, terlebih terjadi di daerah konflik seperti di Papua.
Menurut dia, persoalan itu akan semakin memperkeruh situasi dan kondisi konflik yang terjadi.
"Alih-alih konflik selesai secara damai, yang terjadi justru konflik di Papua terus berlanjut berkepangan yang salah satunya disebabkan persoalan senjata itu," ucap Al Araf.
Al Araf mengatakan, persoalan itu seharusnya diselesaikan dengan memberikan hukuman yang serius kepada para prajurit yang melanggar ke dalam peradilan umum.
"Sudah saatnya para prajurit yang melanggar diadili di dalam proses peradilan umum untuk memberikan efek jera. Jika mereka tidak dihukum dengan tegas dan berat maka kasus serupa akan terus berulang karena tidak ada efek jera," ucap Al Araf.
Sebelumnya diberitakan, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyampaikan kasus penjualan senjata api oleh oknum prajurit meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam lima tahun terakhir, pelanggaran naik bertahap sampai puncaknya pada 2022 yakni terdapat 45 perkara penyalahgunaan senjata api dan amunisi.