Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usut Kekayaan Pejabat yang Tak Wajar, Anggota DPR Nilai Tak Perlu Revisi UU Tipikor

Kompas.com - 28/02/2023, 17:43 WIB
Ardito Ramadhan,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, tidak ada urgensi merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk mengusut tindak pidana di balik kekayaan yang tidak wajar pejabat negara.

Menurut Nasir, penegakan hukum terhadap harta kekayaan milik pejabat negara yang jumlahnya tidak wajar sudah diatur lewat sejumlah instrumen, termasuk UU Pemberantasan Tipikor.

"Kecurigaan-kecurigaan itu sudah diatur selama ini ya dalam Undang-Undang (Pemberantasan) Tindak Pidana Korupsi dan juga undang-undang lainnya yang senapas dengan hal itu," kata Nasir di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Baca juga: ICW dan Pukat UGM Dorong Delik Kekayaan Tak Wajar Masuk UU Tipikor

Nasir mencontohkan, kekayaan tidak wajar bisa diusut melalui pembuktian terbalik di mana pemilik harta mesti membuktikan asal usul harta yang dimilikinya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu melanjutkan, aparat penegak hukum selama ini juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri harta yang tak wajar.

Ia menyebutkan hasil analisis PPATK bahwa ada transaksi keuangan yang mencurigakan juga bisa menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan korupsi.

"Saya pikir tidak perlu untuk merevisi Undang-Undang (Pemberantasan) Tindak Pidana Korupsi, tinggal kalau memang presiden melihat urgensi daripada hal seperti ini, dia bisa pakai instrumen lain," ujar Nasir.

Baca juga: LHKPN Rafael Alun, Delik Kekayaan Tak Wajar Perlu Masuk UU Tipikor

Pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih mendorong pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dengan memasukkan delik tentang kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) dan memperdagangkan pengaruh (trading in influence), sebagai perbuatan yang masuk dalam kategori pidana.

Menurut Yenti, jika unsur kekayaan yang tidak wajar masuk ke dalam beleid itu, maka kasus penyelenggara negara dengan harta fantastis seperti pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo bisa langsung diselidiki.

"Kita dorong Indonesia, pemerintah dan DPR, segera merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Segera masukkan illicit enrichment dan trading in influence untuk menjadi bagian dari undang-undang," kata Yenti saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (26/2/2023).


Menurut Yenti, Indonesia sudah harus memasukkan kekayaan yang tidak wajar dan memperdagangkan pengaruh sebagai bagian dari tindak pidana korupsi karena sudah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC).

Selain itu, kata Yenti, jika delik kekayaan yang tidak wajar dimasukkan ke dalam UU Pemberantasan Tipikor maka akan memudahkan penyidik mengusut harta tak wajar para pejabat.

"Ini kalau kita punya illicit enrichment (dalam UU Tipikor) itu sangat menunjang LHKPN. Mempermudah pemeriksaan LHKPN. Jadi kalau ada kejanggalan transaksi atau harta yang tidak wajar langsung ada pembuktian terbalik. Benar enggak ini hartanya dari sumber yang sah atau justru hasil kejahatan," ujar Yenti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Nasional
Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com