Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ilham Yuli Isdiyanto
Dosen

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Menggugat Asas Rekognisi terhadap Masyarakat Adat

Kompas.com - 14/02/2023, 10:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ASAS rekognisi dalam mengakomodir hak asal usul masyarakat adat nampaknya sudah out of date, karena kenyataannya sampai hari ini asas ini ‘tidak berdaya’ melindungi masyarakat adat.

Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan jumlah kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat pada 2020 saja mencapai 40 kasus.

Bahkan perlindungan yang seharusnya lebih maksimal pascaputusan MK No. 35/2012 jelas-jelas telah diabaikan oleh para penegak hukum.

Quo vadis asas rekognisi

Asas rekognisi sebenarnya ‘bukan’ baru muncul pascaamandemen UUD NRI 1945 melalui Pasal 18B. Gagasan rekognisi sudah muncul di dalam penjelasan Umum I UUD 1945 sebelum amandemen, yakni “Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis”.

Mengacu pada pandangan ini, maka seharusnya segala hukum yang tidak tertulis adalah konstitusional, tidak perlu ada rekognisi.

Penjelasan tersebut tidak menyebutkan hukum tidak tertulis “di bawah” hukum tertulis, melainkan “di samping”, yang berarti sejajar. Dengan demikian, perlu dicatat bahwa hukum tidak tertulis bukanlah subordinat dari hukum tertulis.

Namun, amandemen UUD NRI 1945 menghapus penjelasan, sebagai gantinya konstelasi hukum tertulis dibakukan kedalam batang tubuh melalui Pasal 18B ayat (2).

Isinya, walapun disebutkan negara sudah mengakui dan menghormati hak-hak tradisional (termasuk Hukum Adat), namun ketentuan “diatur dalam undang-undang” menjadi sikap negara yang sudah menempatkan hukum adat secara subordinat.

Proses rekognisi ternyata bukanlah bagaimana peran negara dalam mengakui dan menghormati, namun bagaimana peran negara mengatur proses legalitas hukum adat melalui prosedur yang sulit terpahami oleh masyarakat adat.

Beberapa regulasi yang bersifat sektoral memberikan pemahaman sendiri tentang kriteria masyarakat adat. Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 seakan macet dan sukar diimplementasikan.

Hasil penelitian dari Badan Pembidanaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 2015 menyebutkan bahwa variasi regulasi pelaksana sektoral yang mengatur pengakuan masyarakat adat, namun justru hal ini menjadi masalah dalam pelaksanaannya yang tidak berbasis standarisasi melainkan sektoralisme dan tidak adaptif.

Munculnya berbagai ketidakjelasan regulasi sektoral dalam mengakui masyarakat hukum adat tidak lain adalah “konsep asas rekognisi” yang masih ditafsirkan mengatur, bukan melindungi.

Evaluasi terhadap hal ini adalah perlunya mengganti mindset dalam melihat masyarakat adat bukan dari sudut pandang negara, melainkan dari sudut pandang masyarakat adat itu sendiri.

Bahkan, upaya kolonial mengkooptasi masyarakat adat masih lebih elegan dengan mempertimbangkan filosofis volkgeist (jiwa rakyat) sebagaimana diperjuangkan van Vollenhoven.

Dari rekognisi menuju melindungi

Menjadikan perspektif masyarakat adat berarti negara sudah seharusnya mengganti “asas rekognisi” menjadi “asas melindungi”, sehingga keberadaan masyarakat hukum adat yang organis jangan dipaksa secara formalis melalui prosedur birokratis yang cenderung politis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cak Imin Harap Kerja Sama Koalisi Perubahan Berlanjut pada Pilkada Aceh

Cak Imin Harap Kerja Sama Koalisi Perubahan Berlanjut pada Pilkada Aceh

Nasional
Kritisi Program Merdeka Belajar, Dompet Dhuafa Gelar Hardiknas Eduaction Forum 2024

Kritisi Program Merdeka Belajar, Dompet Dhuafa Gelar Hardiknas Eduaction Forum 2024

Nasional
Prabowo Terima KSAL dan KSAU, Bahas Postur Pembangunan Angkatan

Prabowo Terima KSAL dan KSAU, Bahas Postur Pembangunan Angkatan

Nasional
PKB, Nasdem, dan PKS Ingin Gabung Koalisi Prabowo, AHY: Enggak Masalah

PKB, Nasdem, dan PKS Ingin Gabung Koalisi Prabowo, AHY: Enggak Masalah

Nasional
Dipilih 75 Persen Warga Aceh, Anies: Terima Kasih, Para Pemberani

Dipilih 75 Persen Warga Aceh, Anies: Terima Kasih, Para Pemberani

Nasional
Membangun Ekosistem Pertahanan Negara

Membangun Ekosistem Pertahanan Negara

Nasional
Sidang Sengketa Pileg, Hakim MK Heran Tanda Tangan Surya Paloh Berbeda

Sidang Sengketa Pileg, Hakim MK Heran Tanda Tangan Surya Paloh Berbeda

Nasional
Menpan-RB Anas: Seleksi CPNS Sekolah Kedinasan Mulai Mei, CASN Digelar Juni

Menpan-RB Anas: Seleksi CPNS Sekolah Kedinasan Mulai Mei, CASN Digelar Juni

Nasional
Shalat Jumat di Masjid Baiturrahman Aceh, Anies Diteriaki 'Presiden 2029'

Shalat Jumat di Masjid Baiturrahman Aceh, Anies Diteriaki "Presiden 2029"

Nasional
Polri Siapkan Posko Pemantauan dan Pengamanan Jalur untuk World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Posko Pemantauan dan Pengamanan Jalur untuk World Water Forum di Bali

Nasional
Menkumham Bahas Masalah Kesehatan Napi dengan Presiden WAML

Menkumham Bahas Masalah Kesehatan Napi dengan Presiden WAML

Nasional
Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Nasional
AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Nasional
Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com