Dr. Ninik Rahayu, SH, MS, terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025. Intelektual dan pemikir dari IKAL Strategic Center (ISC) ini mengisi posisi Ketua Dewan Pers yang kosong sejak Prof Azyumardi Azra meninggal dunia pada 18 September 2022.
Pada tahun politik ini, Dewan Pers dipimpin oleh perempuan. Sejumlah pekerjaan rumah Dewan Pers, antara lain arus deras kepentingan politik yang merambah dunia pers serta oligarki media yang lihai berkelit, menjadi tantangan terberat terhadap konstelasi kemerdekaan pers dan profesionalisme kerja jurnalistik.
Namun Ninik Rahayu bukanlah perempuan lembek. Setelah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers, ia langsung tancap gas lewat statemennya yang berkobar: “Kemerdekaan pers harus terus menerus kita perkuat, demikian pula dengan kualitas jurnalisme dan profesionalisme perusahaan pers. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan kerja multistakeholder."
Di dalam semiotika statement itu, saya tertegun: ketika kemerdekaan pers harus terus menerus diperkuat, adakah pihak yang selalu melemahkan pers? Lantas, adakah situasi dan kondisi yang menghimpit hingga kualitas jurnalisme demikian merosot?
Dimulai tahun 1998, ketika sebelumnya selama puluhan tahun dibelenggu, pers mendapatkan kemerdekaannya. Pada era reformasi ini lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.
Bersamaan pula era ini Dewan Pers menjadi lembaga independen. Sebelum era ini, Dewan Pers walau pertama kali terbentuk pada 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, namun eksistensinya banci.
Pada era reformasi pula pers tidak lemah, dan sekaligus punya kebebasan yang begitu gilang gemilang.
Hanya saja kemudian datang ironisme, pers berselingkuh dengan prospektif politik seiring era ini mengizinkan hadirnya partai politik baru yang di antaranya ada sejumlah pemilik modal perusahaan pers pimpinan partai politik baru itu. Bersama ini pers direngkuh oligarki media.
Maka perselingkuhan ini yang membuat pers mengenal orientasi politik redaksi bergantung pada orientasi politik oligarki media.
Dan pers yang disusui oleh oligarki media punya semangat tempur menghajar lawan-lawan politik majikannya –pemilik media yang bercokol di partai politik, atau orang dari partai politik yang memiliki media.
Hal ini sangat kental terlihat pada tahun politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2014 dan Pemilu 2019.
Di dekade ini permasalahan politik muncul ketika oligarki media sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres. Dukungan ini memengaruhi kepentingan oligarki media.
Setiap perusahaan pers pasti telah menetapkan aturan dan kebijakan yang harus diikuti demi profesionalisme jurnalistik.
Namun aturan atau kebijakan yang ujung-ujungnya mendorong wartawan mengusung kepentingan politik pemilik perusahaan pers, tentulah hal ini aneh bagi profesionalitas jurnalisme. Namun keanehan ini sudah banyak terjadi, maka tidak lagi aneh.
Itulah era di mana pers yang tidak lemah dan mempunyai kekebabasannya, justru jalannya sepoyongan saking kekuatan energi dan potensinya demi partisan pemilik media dalam membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat lain.