JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperlihatkan sikap berbeda dalam menghadapi 2 persoalan yang menjadi sorotan saat ini.
Yakni soal polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencabutan wewenang penetapan daerah pemilihan (Dapil) legislatif DPR RI dan DPRD Provinsi dan dialihkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedua peraturan itu menjadi penting karena mempengaruhi banyak hal di masyarakat, yakni terkait dengan kalangan kelas pekerja dan hak-hak politik publik yang terkait daerah pemilihan.
Selain itu, baik Perppu Ciptaker dan pencabutan kewenangan DPR menentukan Dapil DPR RI dan DPRD Provinsi juga terkait dengan putusan MK.
Baca juga: Menaker Disebut Minta Rapat dengan DPR soal Perppu Ciptaker Tertutup: Agar Bebas Menjelaskan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu sesuai putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.
Baca juga: Rapat di DPR soal Perppu Ciptaker Tertutup, Krisdayanti Bilang Permintaan Menaker
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengklaim penerbitan itu tak berarti pemerintah melawan putusan MK.
Baca juga: Menaker Sebut DPR Ingin Dilibatkan Bahas Aturan Turunan Perppu Cipta Kerja
Pasalnya, MK hanya meminta undang-undang dibenahi dalam jangka waktu 2 tahun. Sedangkan perppu memiliki tingkatan yang sama dengan undang-undang.
"Jadi undang-undang itu undang-undang/perppu kan gitu kalau di dalam tata hukum kita. Nah, kalau isinya yang mau dipersoalkan silahkan gitu, tetapi kalau prosedur sudah selesai," kata Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (3/1/2023).
"Ada istilah hak subjektif presiden itu di dalam tata hukum kita bahwa alasan kegentingan itu adalah hak subjektif presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara bahwa itu iya membuat perppu itu alasan kegentingan itu berdasar penilaian presiden aja," ujarnya lagi.