Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dodik Harnadi
Dosen

Dosen di STAI Attaqwa Bondowoso; Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Airlangga.

Mempersoalkan "Living Law" dalam KUHP yang Baru

Kompas.com - 19/12/2022, 09:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RANCANGAN Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi KUHP. Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) pada 6 Desember 2022 mengesahkan kanon pidana baru ini sebagai acuan penegakan hukum pidana nasional.

Ada banyak perdebatan yang mengiringi lahirnya kitab tersebut. Hal itu dapat dimaklumi karena KUHP menjadi induk peraturan pidana yang digadang-gandang sebagai karya asli setelah sekian lama bangsa ini menggunakan KUHP produk kolonial yang dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht (WVS).

Salah satu perdebatan yang menyita perhatian banyak kalangan adalah dimasukkannya hukum yang hidup di dalam masyarakat ke dalam formula KUHP baru.

Baca juga: Pasal Living Law Dalam RKUHP Dinilai Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif

Pada Pasal 2 ayat 1 KUHP yang baru itu disebutkan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

Kemudian dilanjutkan pada ayat 2: “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Dimasukkannya eksistensi hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) ke dalam sistem hukum nasional melahirkan sorotan tajam dari beberapa kalangan. The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) termasuk pihak yang memberikan atensi khusus. Pengenaan pidana beralaskan living law berpotensi melahirkan ketidakjelasan bahkan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

Di samping itu, pasal tersebut juga menyalahi asas legalitas yang mengedepankan kepastian. Asas legalitas hanya mengakui hukum yang tertulis. Sementara hukum yang hidup karena tidak tertulis mengandung ketidakpastian yang bersinggungan dengan prinsip legalitas.

 

Apa Itu Living Law?

Secara historis, konsep living law muncul di era di mana paradigma hukum positif berkembang cepat. Living law adalah respon terhadap positivisme hukum yang mereduksi hukum sekadar kepada hukum yang tertulis yang disusun oleh negara dan menomorduakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Wignjosoebroto, 2013).

Eugen Ehrlich (1862-1922) adalah figur yang perlu mendapatkan takrim sebagai penganjur konsep living law. Hukum yang hidup di dalam masyarakat bersumber dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Living law dapat berbentuk adat istiadat, kebiasaan, cara hidup serta pelbagai asosiasi sosial yang berkembang pada masyarakat tertentu (Ehrlich, 2001).

Menurut dia, living law berbeda dengan hukum yang diterapkan di dalam lingkungan peradilan karena operasionalisasinya berada sepenuhnya dalam kehendak masyarakat. Living law memiliki posisi penting karena mendominasi kehidupan masyarakat meskipun belum dipositivisasi sebagai proposisi hukum (legal propositions).

Living law tetap hidup karena eksistensinya fungsional bagi setiap orang. Menyitat bahasa Karl Von Savigny (1779-1861), eksistensi dan keberangsungan hukum yang hidup berada jiwa masyarakat (volkgeist). Dengan kata lain, keberlangsungan dan penerapan hukum yang hidup berada di luar domain otoritas negara.

Persoalan Paradigma hingga Praksis

Namun, ada beberapa hal yang perlu disoroti ketika living law dituangkan ke dalam orde pemidanaan di KUHP yang baru.

Pertama, secara paradigmatik, ada inkonsistensi dari para pembuat hukum ketika merumuskan KHUP. Berdasarkan asas kepastian hukum yang diatur di dalam Pasal 28D Undang-undang Dasar 1945, Indonesia menerapkan prinsip civil law. Hanya hukum yang tertulis yang ditetapkan melalui prosedur legislasi nasional yang dapat dianggap sebagai hukum.

Karena itulah, bahkan seorang hakim sekalipun tidak bisa membuat hukum (judge do not make law), selain yang ditetapkan di dalam postulat hukum positif.

Hal ini tentu berbeda dengan prinsip kerja hukum yang hidup. Karena tidak tertulis, maka yang berperan menentukan adalah kejujuran untuk berbicara berdasarkan nurani rakyat yang menganggap dan meyakini mekanisme kontrol sosial tertentu merupakan hukum yang berlaku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com