Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahfud Sebut Bukti dan Terduga Kasus Pelanggaran HAM 1965 Sudah Tidak Ada

Kompas.com - 01/11/2022, 18:22 WIB
Syakirun Ni'am,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, bukti kasus pembunuhan massal 1965 sudah tidak bisa ditemukan.

Menurut Mahfud, hal tersebut menjadi salah satu masalah besar untuk penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu melalui proses peradilan.

"Tidak mudahnya, satu, bukti-buktinya sudah tidak ada. Kasus 65 (1965) itu kan buktinya juga sudah tak ditemukan, pelakunya yang diperkirakan bersalah itu sudah tidak ada " kata Mahfud di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta, Selasa (1/11/2022).

Baca juga: Mahfud Sebut Kasus Pelanggaran HAM Berat Tidak Akan Kedaluwarsa, Dicarikan Penyelesaian Hukum

Selain bukti dan pelaku sudah tidak ada, Mahfud mengatakan, rezim pemerintahan saat itu juga telah diganti.

Meski demikian, kata Mahfud, kasus 1965 tetap menjadi pelanggaran HAM berat karena terdapat banyak korban.

"Tetapi, itu kasus pelanggaran HAM berat karena korbannya banyak, kalau (kasus) 1948 enggak masuk," tutur Mahfud.

Menurut Mahfud, kasus tersebut pernah dibawa ke pengadilan dan ke Jaksa Agung, namun ditolak karena tidak memiliki bukti.

Jaksa Agung disebut mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat yang dibawa ke pengadilan harus disertai barang bukti, tidak bisa hanya kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Lebih lanjut, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan, pemerintah pernah membawa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi saat jejak pendapat di Timor Timur.

Saat itu, sebanyak 38 orang diadili. Namun, mereka semua bebas karena tak ada bukti.

"Kita bawa ke pengadilan sesuai temuan Komnas HAM, 38 orang bebas semua karena buktinya enggak ada," tutur Mahfud.

Baca juga: Mahfud Sebut Besok Komnas HAM Akan Umumkan Tragedi Kanjuruhan Pelanggaran HAM Berat atau Bukan

Karena itu, Mahfud melanjutkan, pemerintah memutuskan mengambil langkah penyelesaian non-yudisial dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim ini nantinya akan mencoba mencari bantuan untuk korban.

Sementara, proses hukum atau penyelesaian secara hukum tetap dilakukan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Mahfud menegaskan, meski terdapat penyelesaian non-yudisial, pemerintah tetap mencarikan jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara hukum.

"Kita tak akan menutup kasus. Kasus misalnya Mei 98 yang di Trisakti 1 dan 2, masih masuk," ujar Mahfud.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com