Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Akali Demokrasi, Peralat Konstitusi

Kompas.com - 24/03/2022, 11:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VLADIMIR Putin, Presiden Rusia sekarang, memiliki jejak panjang mengenai kiat-kiat mempertahankan kekuasaan. Ia mulai menjadi presiden selama dua periode (2000 hingga 2008).

Konstitusi melarang presiden Rusia menjabat lebih dua periode. Putin tunduk pada konstitusi.

Dari 2008 hingga 2012, Putin menjadi Perdana Menteri dan Medvedev jadi Presiden. Di periode Medvedev inilah Konstitusi diamanedemen: membolehkan presiden lebih dari dua kali.

Maka, Putin naik lagi jadi presiden pada tahun 2012, menggantikan Medvedev. Puaskah Putin? Sama sekali tidak.

Tahun 2020, hasil referendum di Rusia, menyetujui amandemen konstitusi bahwa masa jabatan presiden bukan lagi empat tahun, tetapi enam tahun.

Dalam amandemen tersebut, Putin bisa maju terus bukan hanya dua periode, tetapi empat periode.

Artinya, Putin bisa menjadi presiden dalam 24 tahun ke depan. Ini sah secara konstitusional.

Baca juga: Menunda Pilpres

Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, yang berkuasa di negaranya selama 21 tahun, juga memiliki kiat untuk mempertahankan kekuasaan.

Menghadapi rakyat yang tidak menyenanginya, pada tanggal 23 September 1972, ia memberlakukan darurat militer, yang memungkinkan presiden berbuat apa saja.

Konstitusi dibuat untuk melegitimasi syahwat kekuasaannya tanpa batas waktu.

Suharto, berkuasa selama 32 tahun, mempertahankan kekuasaan, justru sama sekali tidak menyentuh Konstitusi.

Ia malah akan menghukum siapa saja yang membicarakan perubahan Konstitusi. Suharto menjadikan UUD 1945 sebagai barang sakral yang tidak boleh diutak-atik.

Ia mempertahankan kekuasaanya puluhan tahun karena ketika itu, Konstitusi kita memang tidak secara eksplisit membatasi periode presiden. Suharto mempertahankan kekuasaannya tanpa amandemen.

Model Putin dan Marcos, adalah mengubah Konstitusi untuk kekuasaan tanpa tepian. Model Suharto, mempertahankan Konstitusi demi kekuasaan absolut.

Kedua pendekatan tersebut, mengakali demokrasi, memperalat Konstitusi.

Singkat kisah, berbagai kiat yang dilakukan sejumlah pemimpin untuk mempertahankan kekuasaannya.

Semuanya selalu mempertahankan citranya bahwa kekuasaan mereka memiliki legitimasi yuridis yang sangat valid karena tindakan mereka didasarkan pada Konstitusi.

Namun, mereka alpa bahwa jalur formal yuridis acapkali membawa defisit dalam necara moral. Ketiga cara di atas, semuanya membuat pemimpin tersebut jadi diktator dan dibenci rakyat.

Bagaimana sekarang?

Dalam praktik di dunia ini, ada dua cara yang dipakai untuk mengubah Konstitusi. Pertama, pembaharuan Konstitusi, yang bermakna, keseluruhan Konstitusi diubah. Konstitusi barulah yang dipakai.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com