JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden masih terus berlanjut.
Segelintir elite partai politik nekat menggulirkan isu tersebut. Padahal, wacana itu telah berulang kali dimunculkan, berkali-kali pula tuai kritikan.
Konstitusi sebenarnya telah tegas mengatur penyelenggaraan pemilu maupun masa jabatan presiden.
Baca juga: Membedah Untung Rugi Parpol yang Usung Wacana Penundaan Pemilu dan Presiden 3 Periode
Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali.
Sementara, merujuk Pasal 7 UUD, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi paling banyak dua periode, dengan lama masa jabatan 5 tahun setiap satu periode.
Ironisnya, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini diklaim elite politik bersumber dari aspirasi rakyat. Padahal, rakyat ramai-ramai menyuarakan penolakan.
Isu penundaan Pemilu 2024 pertama kali diembuskan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Ia mengaku mendengar masukan dari para pengusaha, pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga analis ekonomi sebelum menyampaikan usulan itu.
“Dari semua (masukan) itu saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun,” kata Muhaimin, dikutip dari keterangan persnya, Rabu (23/2/2022).
Menurut Muhaimin, usulan tersebut muncul karena dia tidak ingin ekonomi Indonesia mengalami pembekuan setelah dua tahun stagnan akibat pandemi virus corona.
Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, akan ada banyak momentum untuk memulihkan ekonomi selama 2022-2023. Sementara, gelaran pemilu ia nilai bisa mengganggu prospek ekonomi.
Baca juga: Para Elite Parpol yang Tolak Pemilu Ditunda dari AHY sampai Prabowo
Muhaimin mengeklaim, banyak akun di media sosial setuju dengan usulan dirinya agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda satu hingga dua tahun.
Menurut analisis big data perbincangan di media sosial, kata Muhaimin, dari 100 juta subjek akun di medsos, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu. Semantara, 40 persen lainnya menolak.
"Big data mulai jadi referensi kebijakan dalam mengambil keputusan. Pengambilan sikap bergeser dari sebelumnya mengacu pada survei, beralih pada big data," kata Muhaimin dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Usulan Muhaimin itu lantas didukung Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).