JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek penyewaan pesawat di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014, Garuda diketahui berencana melakukan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 pesawat.
Penambahan pesawat itu dilakukan baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan lessor agreement, di mana pihak ketiga berperan sebagai penyedia dana.
Baca juga: Korupsi Garuda Indonesia, Diduga Ada Mark Up Sewa Pesawat dan Manipulasi Data
Adapun Garuda akan membayar kepada pihak lessor melalui skema pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
Dalam realisasinya, RJPP terlaksana dengan menghadirkan beberapa jenis pesawat, yakni ATR 72-600 sebanyak 50 unit dengan perincian pembelian 5 unit dan penyewaan 45 unit.
Kemudian, pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat yang terdiri atas pembelian 6 unit dan penyewaan 8 unit.
Baca juga: Laporkan Garuda ke Kejagung, Erick Thohir: Saatnya Oknum di BUMN Dibersihkan!
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, Kejagung mensinyalir adanya dugaan mark up penyewaan pesawat Garuda yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini.
Selain itu, diduga juga terjadi manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat.
"Atas pengadaan atau sewa pesawat tersebut diduga telah terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntungkan pihak lessor," kata Leonard dalam keterangan tertulis, Selasa (11/1/2022).
Baca juga: Gonjang-ganjing Korupsi di Tubuh Garuda hingga Dilaporkan Erick Thohir...