SAYA yakin semua pihak sepakat bahwa Indonesia membutuhkan grand strategy yang tepat untuk keluar dari stagnasi ekonomi, keluar dari kebekuan politik, dan menjauh dari efek lanjutan bencana pandemik, agar penghuni Istana (Presiden) dan penduduk gedung Senayan (anggota DPR/MPR) tidak hanya menjadi pemimpin dan elite-elite yang menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasanya, as usual.
Mereka bisa menjadi pemimpin dan elite-elite yang benar-benar bekerja mendekati masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sedekat-dekatnya, lalu menggunakan segala wewenang (fiskal, administratif, dan politis) untuk menyelesaikannya.
Jika inisiatif mengetengahkan isu strategis semacam itu tidak datang dari lingkaran pemimpin dan elite politik, kecil kemungkinan akan datang dari bawah. Karena pemilih atau masyarakat pemilih cenderung lebih menikmati segala sesuatu yang disajikan oleh para elite, ketimbang menginisiasi dari bawah.
Baca juga: Wujudkan Indonesia Berdaulat Pangan, Pakar Ekonomi Minta Pemerintah Bangun Strategi Besar
Hal ini sangat bisa dipahami, mengingat begitu banyak persoalan yang dihadapi masyarakat, apalagi setelah diberlakukannya protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Karena itu, peran pemimpin dan elite politik dalam menjaga arah proses politik yang sedang berlangsung sangat diperlukan, tidak saja agar berjalan dalam koridor legal, tapi juga tetap pada koridor solutif di mana para pemimpin dan para elite memang benar-benar paham persoalan yang sedang dihadapi Indonesia serta memiliki kapasitas untuk merumuskan dan mengeksekusi grand strategy untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Masalahnya, goresan grand strategy tersebut, tidak lahir dari proses politik yang berjalan sendiri-sendiri. Grand strategy tentang bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan di Indonesia dan membawa Indonesia ke level kebaikan yang lebih tinggi, tidak lahir begitu saja dari proses teknis politik, yang dijalankan atas hitung-hitungan popularitas, akseptabilitas, elektabilitas, dan konfigurasi kepartaian yang melingkarinya.
Karena itulah, sampai hari ini, kita masih buta tentang grand strategy Indonesia untuk lima tahun atau sepuluh tahun mendatang dari para elite yang telah dinyatakan legitimate secara politik dan layak secara legal-prosedural oleh pemilih, karena nyatanya tak pernah diarahkan prosesnya ke sana.
Indonesia sesungguhnya mau kemana? Mau seperti apa lima tahun atau sepuluh tahun mendatang? Dengan cara dan instrumen apa menuju ke sana? Publik masih belum melek tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penting semacam itu.
Yang jelas, grand strategy tak jatuh dari langit, tak pula dari mimpi di sepertiga malam. Saya mendapatkan gambaran teknis yang cukup bagus soal grand strategy ini dari Ganesh Sitaraman, professor hukum di Vanderbilt Law School saat beliau menulis analisanya di majalah Foreign Affair edisi September-Oktober 2019, berjudul "A Grand Strategy of Resilience: American Power in the Age of Fragility". Sitaraman juga adalah penulis buku The Great Democracy: How to Fix Our Politics, Unrig the Economy, and Unite America.
Dalam artikel di majalah Foreign Affair itu beliau menulis, "Grand strategy is won, not found. It emerges from argument and debate. And it is useful precisely because it offers guidance in a complex world".
Jadi, grand strategy memang harus dimenangkan, bukan ditemukan begitu saja. Grand strategy lahir dari proses perdebatan dan adu argumentasi yang rasional. Karena itulah dikatakan grand strategy, yang akan menjadi guidance dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Inilah tahapan yang semestinya sudah dilalui oleh para pemimpin dan para elite yang telah dinyatakan layak masuk arena elite kenegaraan. Masalahnya, pemerintah dan DPR hari ini minim perdebatan dan dialektika ideasional.
Pemerintah terkesan sangat alergi dengan perbedaan. Namun tak ada kata terlambat untuk memulai kembali hari ini. Angkat perkara umum yang dialami Indonesia, kemudian jejerkan persoalan demi persoalan yang ada sebagai penopang persoalan umum, lemparkan ke ruang publik, dan tawarkan grand strategy serta rencana programatis-teknisnya.
Untuk apa? Untuk diperdebatkan, untuk disanggah atau dikritisi atau dilengkapi, oleh para elite politik dan elite intelektual yang ada, untuk ditantang secara intelektual oleh oposisi dengan sudut pandang dan kacamata lain, serta dengan grand strategy lain.
Mengapa saya mengatakan ini? Karena kompetisi elektoral telah selesai dan masih tiga tahun lagi menuju kompetisi selanjutnya. Sekarang adalah proses untuk menguji pemahaman para pemimpin dan para elite atas berbagai persoalan yang ada dan untuk memastikan kapasitas serta kreativitas mereka dalam melahirkan grand strategy yang mumpuni dan konstektual untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada.