JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Wicaksana Dramanda mengatakan, masyarakat memiliki hak untuk menduga dan melaporkan konflik kepentingan para pejabat publik.
Menurutnya, hal ini tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Saya menafsirkan ada dua hak yang melekat pada masyarakat. Yaitu hak menduga dan hak melaporkan. Kita menduga itu hak yang dijamin undang-undang, soal melaporkan atau tidak itu soal lain," kata Wicaksana dalam diskusi daring yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (15/8/2021).
Baca juga: Polemik dengan ICW, Ini Deretan Klaim Moeldoko soal Ivermectin
Pasal 44 ayat (1) berbunyi, "Warga berhak melaporkan atau memberikan keterangan adanya dugaan konflik kepentingan pejabat pemerintah dalam menetapkan atau melakukan keputusan atau tindakan".
Kemudian, Pasal 44 ayat (2) menyatakan, "Laporan atau keterangan disampaikan kepada atasan pejabat dengan mencantumkan identitas jelas pelapor dan melampirkan bukti-bukti terkait".
Wicaksana lantas menyinggung soal hasil penelitian ICW tentang sejumlah elite politik Tanah Air yang diduga dekat dengan produsen Ivermectin, PT Harsen Laboratories.
ICW menduga Kepala Staf Presiden Moeldoko terlibat dalam konflik kepentingan soal produksi Ivermectin. Menurut ICW, kedekatan itu terjalin melalui putri Moeldoko yang bernama Joanina Novinda Rachma.
Berdasarkan penelusuran ICW, Wakil Presiden PT Harsen Laboratories Sofia Koswara memiliki keterkaitan dengan PT Noorpay Perkasa sebagai direktur dan pemilik saham. Joanina, putri Moeldoko, merupakan salah satu pemilik saham PT Noorpay Perkasa.
Baca juga: Moeldoko Layangkan Somasi Kedua soal Ivermectin, Beri Waktu 3×24 Jam ICW Beri Bukti
Moeldoko pun menantang ICW membuktikan tuduhan itu. Moeldoko telah dua kali melayangkan somasi terhadap ICW terkait perkara obat Ivermectin tersebut.
Menurut Wicaksana, sikap Moeldoko sebagai pejabat negara tidak elok. Sebab, ICW hanya menggunakan hak-nya sebagai bagian dari masyarakat sipil.
"Somasi ini buat saya tidak elok dalam konteks kita berdemokrasi," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.