JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata mengungkapkan, putusan hakim dilindungi oleh doktrin kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan independen, sehingga tidak dapat diintervensi.
Mukti menanggapi isu disparitas putusan hakim, salah satunya terkait vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang dinilai rendah.
"Untuk itu, KY tidak berwenang untuk mengintervensi atas putusan-putusan hakim tersebut," kata Mukti dalam keterangannya, Selasa (16/3/2021).
Baca juga: MA Terbitkan Peraturan soal Pemidanaan Koruptor, ICW Harap Jadi Jawaban Disparitas Hukuman
Diketahui, Nurhadi dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi terkait penanganan perkara di MA.
Vonis tersebut hanya setengah dari tuntutan jaksa yang meminta Nurhadi dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, kasus lainnya yang disinggung yakni ketika MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus suap terhadap mantan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen, Fahmi Darmawansyah.
MA menyunat hukuman Fahmi dari 3,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan menjadi 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: KY Kunjungi KPK Bahas Kerja Sama dan Dukungan Perekrutan Hakim
Kendati demikian, Mukti mengungkapkan, kekuasaan yang dimiliki seorang hakin tak berarti mutlak tanpa batas.
Putusan hakim, kata Mukti, juga harus didasarkan pada norma hukum, fakta hukum, teori dan asas hukum, serta keyakinan hakim yang dapat dipahami berdasarkan logika hukum.
Selain itu, putusan juga dapat dinilai wajar apabila hakim tersebut mempunyai kapasitas, profesionalitas, dan integritas.
Meski tak dapat mengintervensi, KY tetap memantau sejumlah kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.
"Komisi Yudisial berdasarkan kewenangannya memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik sebagai bagian bentuk laporan masyarakat yang akan ditindaklanjuti untuk dianalisis, apakah ada potensi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) atau tidak," tutur dia.
Baca juga: Ketua KY Sebut Kerja Sama dengan MA Jadi Prioritas
Adapun Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, dinyatakan menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
Majelis hakim juga menyatakan kedua terdakwa terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Putusan majelis hakim berbeda dengan dakwaan jaksa yang menyebut Nurhadi dan Rezky menerima suap sebesar Rp 45,7 miliar dari Hiendra.
Di samping itu, berdasarkan dakwaan jaksa, Nurhadi dan Rezky dinilai menerima gratifikasi sebanyak Rp 37,287 miliar dari berbagai pihak.
Atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.