JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Senin (9/12/2019).
Pemohon dalam perkara ini adalah Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dan Saut Sitomorang, bersama 10 orang pegiat antikorupsi.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan prosedur pembentukan revisi UU KPK yang dilakukan pemerintah dan DPR pada pertengahan September 2019.
"Satu hal menarik dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini adalah tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna mengenai undang-undang ini," kata Kuasa Hukum pemohon, Feri Amsari, dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Baca juga: Asa Membatalkan UU KPK Hasil Revisi yang Terganjal Salah Nomor…
Dalam catatan Pemohon, setidaknya, ada sekitar 180 anggota DPR yang tidak hadir sidang paripurna dan menitipkan absennya.
Sehingga, seolah-olah ada 287 hingga 289 anggota DPR yang hadir dan memenuhi kuorum, padahal secara fisik mereka tidak ada.
Dalam ketentuan tata tertib DPR dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa kata "dihadiri" merujuk pada kehadiran secara fisik.
Sehingga, jika secara fisik tidak ada, maka tidak bisa disebut hadir.
"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan," ujar Feri.
Tidak hanya itu, Pemohon juga mempersoalkan tidak adanya perwakilan KPK yang diikutsertakan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Baca juga: Tolak Uji Materi UU KPK, MK Nilai Permohonan Salah Objek
Padahal, KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok revisi undang-undang.
Pemerintah melalui surat presiden (surpres) tentang revisi UU KPK saat itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
"Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.
Atas hal-hal tersebut, Pemohon meminta MK menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi.
Pemohon juga meminta MK menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.