JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai pasal makar dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih bermasalah.
Menurut Erasmus pendefinisian kata makar tidak sesuai dengan asal kata dalam hukum pidana Belanda, "aanslag", yang artinya serangan.
"Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu aanslag, yang artinya serangan," ujar Erasmus kepada Kompas.com, Rabu (28/8/2019).
Tindak pidana makar dalam draf terbaru RKUHP diatur dalam tiga pasal yakni, makar terhadap presiden dan wakil presiden, makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan makar terhadap pemerintah yang sah.
Baca juga: Ketentuan yang Dipertahankan di RKUHP, Termasuk Hukuman Mati dan Penghinaan Presiden
Pasal 191 menyatakan, "Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun".
Kemudian, pasal 192 mengatakan, "Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun".
Baca juga: DPR Jadwalkan Pengesahan RKUHP pada 24 September 2019
Pasal 193 menyatakan, "Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara, pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun".
Erasmus berpendapat, ketiga pasal tersebut cenderung mendefinisikan makar secara multitafsir dan menjadi pasal karet.
Ketentuan makar yang bersifat karet itu berpotensi disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
"RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat," kata Erasmus.
Sebelumnya diberitakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Baca juga: Penerapan Hukuman Mati pada RKUHP Tuai Kritik
Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan, saat ini draf RKUHP telah memasuki tahap finalisasi sebelum pengesahan di Rapat Paripurna.
"RKUHP itu malah sudah difinalisasi nanti di tanggal 24 september itu salah satu (RUU) yang sudah bisa diketok," ujar Indra saat ditemui di ruang kerjanya, gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.