JAKARTA, KOMPAS.com - Solidaritas Perempuan mengkritisi pidato Visi Indonesia yang disampaikan Presiden terpilih Joko Widodo, pada 14 Juli lalu di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor.
Menurut Solidaritas Perempuan, pidato itu minim isu perlindungan perempuan.
Dikhawatirkan, hal serupa akan terulang dalam pidato kenegaraan Presiden yang akan disampaikan jelang peringatan kemerdekaan, Jumat (16/8/2019) besok.
"Dilihat dari pidato (di Sentul), tidak ada kata perempuan, tapi hanya bicara soal ibu," kata Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa Yura, dalam Konferensi Pers "Gerak Lawan" di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2019).
"Satu-satunya yang bicara mengenai isu perempuan dalam pidato tersebut adalah mengenai bagaimana mencegah atau menurunkan angka kematian ibu dan proses stunting," ujar Dinda.
Baca juga: Jelang Pidato Kenegaraan Jokowi, YLBHI Kritisi Isu Lingkungan hingga Investasi
Meskipun perihal kesehatan ibu merupakan isu penting, menurut Dinda, persoalan perempuan tidak hanya sebatas itu saja.
Di luar hal tersebut, ada berbagai macam persoalan lain yang sebenarnya juga harus diperhatikan.
Misalnya, isu tentang perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang kian terancam karena rencana investasi besar-besaran yang tengah digalakkan Jokowi.
"Perempuan memiliki peran yang sangat signifikan, baik itu dalam hal pengelolaan sumber daya alam, dalam bidang pertanian, pesisir, yang justru peran-perannya itu terancam dan tergerus dengan adanya investasi dan orientasi ekonomi," ujar Dinda.
Baca juga: Jika Bappenas Oke, Jokowi Umumkan Ibu Kota Baru Saat Pidato Kenegaraan
Dinda berharap, pidato kenegaraan Jokowi Jumat (16/8/2019) besok bisa lebih memperhatikan kedaulatan perempuan.
Misalnya, bagaimana para buruh perempuan imigran dapat bekerja di luar negeri dengan perlindungan komprehensif dari negara.
Selain itu, mengenai bagaimana para petani perempuan bisa menanam dan mengolah benih tanpa ancaman poyek-proyek pemerintah yang lebih berpihak pada benih yang dihasilkan perusahaan besar.
Atau, bagaiamana nelayan perempuan bisa menangkap ikan tanpa dibuat khawatir dengan ancaman reklamasi.
"Bicara soal kedaulatan perempuan itu bicara soal bagaimana perempuan di pedesaan dan perempuan miskin kota itu tidak lagi kehilangan airnya karena air diprivatisasi dan kemudian air diperjualbelikan sebagai komoditas, bukan dilihat sebagai hak atau bahan dasar yang harus dipenuhi dilindungi dan juga dinikmati," kata Dinda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.