JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, yang terjadi terhadap ratusan mahasiswa Indonesia di Taiwan bukan praktik kerja paksa.
Menurut dia, hal itu merupakan upaya universitas di Taiwan untuk memperkenalkan kultur kerja keras kepada mahasiswa Indonesia.
"Pertama, kita dulu harus mengetahui apa yang terjadi, baru kita merumuskan. Apa itu kerja paksa atau kerja keras, karena beda itu," ujar Kalla saat ditemui di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (8/1/2019).
"Saya yakin itu bukan kerja paksa, itu mungkin kerja keras. Kita butuh orang yang mempunyai budaya kerja keras. Kenapa Taiwan, China, maju? Karena kerja keras," lanjut Kalla.
Baca juga: Menaker Ikut Komentari Dugaan Mahasiswa Dipekerjakan di Taiwan
Ia mengatakan, mahasiswa Indonesia yang belajar di Taiwan tak cukup hanya mempelajari teknologi di sana, tetapi juga harus mempelajari budaya kerja kerasnya.
Kalla yakin, dengan praktik kerja tersebut, para mahasiswa yang belajar di negara tersebut akan membawa kemampuan dan kultur kerja keras ke Indonesia.
"Intinya harus bekerja mempergunakan kemampuan fisik yang baik dan tangannya untuk bekerja. Ya mungkin tidak terlalu dekat hubungannya, tapi saya katakan tadi budaya kerja keras tadi ini harus melekat di jiwa masing-masing pekerja," ujar Kalla.
"Kalau Anda tidak bekerja keras, tidak mau nungguin berjam-jam dan cepat bosan, gimana cepat maju negeri ini," lanjut Kalla.
Sebelumnya, diberitakan ratusan mahasiswa yang dipaksa bekerja tersebut hanya mendapatkan pelajaran selama dua hari dalam seminggu.
Baca juga: Cerita Mantan Mahasiswa Indonesia di Taiwan Kaget Mendengar Isu Kerja Paksa
Terlepas dari waktu belajar tersebut, mereka selama empat hari dalam seminggu untuk mengemas 30.000 lensa kontak di sebuah pabrik di Taiwan. Adapun waktu kerjanya adalah 10 jam dan waktu istirahat 2 jam.
Padahal, disebutkan program kerja-magang yang ideal adalah satu tahun di kampus dan satu tahun di dunia industri.
Pemerintah Indonesia dan Taiwan mempunyai kerja sama terkait program kerja-magang bagi mahasiswa.
Sebagian besar mahasiswa ini beragama Islam. Namun, selama bekerja di pabrik, mereka dikabarkan mendapatkan makanan yang mengandung babi.
Proses pengiriman mahasiswa Indonesia ini dilakukan oleh seorang broker yang mendapat 200 dollar Taiwan atau sekitar Rp 93.795 per orang.
Baca juga: Bagaimana Aturan Kerja Mahasiswa Indonesia di Taiwan?
Menanggapi hal ini, Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei meminta klarifikasi serta berkoordinasi dengan aparat lokal untuk melakukan tindakan demi keselamatan mahasiswa di Indonesia.
Akhirnya, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara perekrutan dan pengiriman mahasiwa dengan skema kuliah-magang ke Taiwan.
Sementara itu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyampaikan, mahasiswa yang dipaksa bekerja ini bukan diberangkatkan melalui skema kerja sama Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Taiwan, melainkan berangkat melalui agensi atau calo.
Meski demikian, Kemenristek Dikti tetap akan menyelidiki keterlibatan perguruan tinggi dalam negeri terkait kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.