JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengatakan, mahasiswa yang diduga menjalani kerja paksa di Taiwan bukan merupakan mahasiswa yang berangkat melalui skema kerja sama Kemenristek Dikti dan Taiwan.
Dikutip dari Antara, Kamis (3/1/2019), Nasir menyebutkan, mereka berangkat melalui calo atau agensi.
"Saat ini kami sedang menyelidiki kasus ini. Saya sudah berkomunikasi dari kemarin, namun dipastikan mereka berangkat sendiri melalui calo atau agensi," katanya usai pembukaan Rakernas di Semarang, Kamis.
Baca juga: Ratusan Pelajar Indonesia Diduga Jalani Kerja Paksa di Pabrik Taiwan
Untuk itu, dia meminta masyarakat tidak mudah tergoda dengan iming-iming kuliah di Taiwan.
"Kami minta masyarakat untuk berkomunikasi dengan kami, apakah prosedurnya sudah sesuai atau belum," katanya.
Menristek Dikti menjelaskan, banyak perguruan tinggi di Taiwan yang masuk dalam perguruan tinggi teratas di dunia. Skema yang benar, ia melanjutkan, adalah satu tahun di kampus dan satu tahun di industri.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengirim mahasiswa Indonesia ke Taiwan sebanyak 320 orang untuk periode Januari dan Februari 2019. Kemudian untuk periode Maret dan April 2019 sebanyak 1.000 mahasiswa.
Baca juga: Otoritas Taiwan Selidiki Keberadaan 152 Turis asal Vietnam yang Hilang
Kemenristek Dikti juga berkoordinasi dengan Kantor Ekonomi dan Dagang Taipei (TETO) terkait pengiriman mahasiswa tersebut.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristek Dikti Patdono Suwignjo mengatakan, pihaknya juga akan menyelidiki keterlibatan perguruan tinggi dalam negeri dalam kasus tersebut.
Menurut Patdono, kasus kerja paksa itu terjadi karena kerja sama tidak dilakukan dengan baik sehingga banyak yang terlantar.