JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyesalkan terjadinya peretasan situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak akhir pekan lalu, yang membuat hasil penghitungan Pilkada Serentak 2018 tak bisa diakses oleh publik.
Fadli menilai KPU dan pemerintah tak mampu menjamin keamanan suara rakyat dari serangan siber.
“Adanya peretasan situs KPU di tengah momen krusial Pilkada Serentak 2018 menunjukkan pengamanan situs KPU sangatlah lemah. Apalagi, sesudah lewat beberapa hari, kasus peretasan itu belum juga bisa ditangani seratus persen," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/7/2018).
Baca juga: Diserang Hacker, KPU Tutup Laman Rekapitulasi Hasil Pilkada 2018
"KPU dan pemerintah menanganinya secara amatiran dan tak serius,” tambahnya.
Saat ini, untuk mencegah adanya peretasan, KPU menutup sementara laman infopemilu.kpu.go.id yang menampilkan rekapitulasi hasil Pilkada Serentak 2018.
Meskipun bisa mengurangi efek kerusakan, namun Fadli menilai cara tersebut tak bisa dipertahankan karena bisa mengurangi kualitas transparansi penyelenggaraan Pilkada.
"Mestinya KPU punya skenario canggih, baik mencegah maupun mengatasi kasus semacam ini. Kita bisa lihat bagaimana dunia perbankan relatif bisa bertahan dari serangan siber dan aman dari retasan," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Baca juga: Dapat Ancaman Peretasan, Konsultan IT KPU Diminta Lapor ke Bareskrim
Apalagi, lanjut Fadli, anggaran KPU sangat besar. KPU tercatat merupakan lembaga kedua sesudah kepolisian yang mendapat alokasi anggaran terbesar pada APBN 2018, yaitu sebesar Rp12,5 triliun.
Mestinya dengan anggaran besar itu KPU bisa membangun sistem keamanan siber yang aman.
KPU sebenarnya sudah punya pengalaman dengan ancaman peretasan, seperti pernah terjadi pada awal Februari 2017, pada saat penghitungan suara Pilkada DKI putaran pertama.
"Sehingga, kasus semacam ini seharusnya bisa lebih diantisipasi," kata dia.
Baca juga: Pasca Pilkada, Konsultan IT KPU Diserang Misscall dan Percobaan Peretasan
Menurut Fadli, kasus peretasan semacam ini bukan hanya merusak kredibilitas KPU, tapi juga bisa merusak psikologi publik.
Indonesia semakin sulit untuk meninggalkan praktik Pemilu berbasis pencoblosan dan pencontrengan, karena publik tak percaya terhadap jaminan keamanannya.
Itu sebabnya aparat keamanan harus segera mengusut kasus ini. Jika tidak, tingkat kepercayaan masyarakat bisa runtuh dan sikap saling curiga bisa meluas.
Baca juga: KPU Diminta Pastikan Pemungutan Suara Ulang Berjalan Sesuai Prosedur
Ini tak kondusif karena Indonesia sedang menghadapi tahun politik.