JAKARTA, KOMPAS.com - Meski mendapat pertentangan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap mengatur larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi maju dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019.
Larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi tertuang dalam pasal 7 ayat (1) huruf h rancangan Peraturan KPU (PKPU) pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal itu berbunyi, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.
Baca juga: Menkumham Tak Akan Tandatangani PKPU Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg
KPU menilai korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Sehingga, KPU perlu mengatur pelarangan mantan napi korupsi lebih tegas melalui PKPU.
Namun, niat tersebut mendapat penolakan dari DPR, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM hingga Bawaslu. Bahkan penolakan juga datang dari Presiden Joko Widodo.
Sesuai aturan perundangan, PKPU juga perlu ditandangani Kemenkumham agar sah menjadi sebuah perundangan.
Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Baca juga: Jokowi Minta KPU Telaah Lagi Larangan Mantan Napi Korupsi Nyaleg
"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018).
Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dengan demikian mantan narapidana korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai caleg.
Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.
"Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah undang-undang dan keputusan hakim. Itu saja," ucapnya.
Baca juga: KPK Dukung KPU Larang Mantan Napi Korupsi Ikut Pileg 2019
Selain itu, Yasonna menilai peraturan KPU tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK tahun 2016 terkait uji materi Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) menyebut, terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.
"Itu (draf PKPU) bertentangan dengan UU. Bahkan tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Yasonna.