Salin Artikel

Langkah KPU Larang Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg Terganjal Pemerintah

Larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi tertuang dalam pasal 7 ayat (1) huruf h rancangan Peraturan KPU (PKPU) pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal itu berbunyi, bakal calon anggota  DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.

KPU menilai korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Sehingga, KPU perlu mengatur pelarangan mantan napi korupsi lebih tegas melalui PKPU.

Namun, niat tersebut mendapat penolakan dari DPR, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM hingga Bawaslu. Bahkan penolakan juga datang dari Presiden Joko Widodo.

Sesuai aturan perundangan, PKPU juga perlu ditandangani Kemenkumham agar sah menjadi sebuah perundangan.

Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018).

Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

Dengan demikian mantan narapidana korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai caleg.

Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.

"Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah undang-undang dan keputusan hakim. Itu saja," ucapnya.

Selain itu, Yasonna menilai peraturan KPU tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK tahun 2016 terkait uji materi Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) menyebut, terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.

"Itu (draf PKPU) bertentangan dengan UU. Bahkan tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Yasonna.


Langkah pemerintah tak tepat

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai sikap Yasonna tersebut tidak tepat. Sebab, KPU telah melalui seluruh syarat formil yang ditetapkan dalam menyusun peraturan, yakni uji publik hingga rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah.

"Apa yang dilakukan Menkumham tidak tepat karena proses usulan dan masukan itu ada di ruang konsultasi," ujar Fadli saat dihubungi, Senin (4/6/2018),

Selain itu, kata Fadli, Kemenkumham tidak berhak mengoreksi isi dari PKPU dan menyatakan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Sesuai mekanisme yang ada, pihak-pihak yang tak sepakat dengan PKPU dapat mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Dengan demikian, menurut Fadli, KPU dapat mengesahkan peraturan itu meski pemerintah tak sepakat.

"Lagipula belum tahu juga apa ada yang keberatan atau tidak dengan peraturan itu. Masyarakat sendiri banyak yang setuju dengan aturan itu. Biar KPU nanti yang akan mempertanggungjawabkan itu," kata Fadli.

Hal senada diungkapkan oleh Komisioner KPU Viryan Aziz. Ia mengatakan bahwa Kemenkumham tidak berhak mengoreksi isi draf Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif 2019

Sebab, konten draf PKPU tersebut sudah dibahas bersama pemerintah dan DPR. Dengan demikian, KPU menilai bahwa PKPU itu sudah menjalani mekanisme sebagaimana yang diatur dalam UU Pemilu.

Meskipun, draf PKPU tersebut mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019, yang dianggap banyak pihak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.

"Kemenkumham posisinya pada proses administrasi pengundangan, konten itu ada di kami (KPU)," ujar Viryan di Istana Wakil Presiden RI, Jakarta, Senin (4/6/2018).


Sinkronisasi syarat

Fadli memandang pelarangan mantan napi kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif, merupakan upaya KPU untuk mensinkronisasi syarat pencalonan.

Pasalnya, UU Pemilu tidak secara tegas mengatur apakah seorang mantan napi kasus korupsi diperbolehkan ikut dalam Pileg 2019.

Sementara, persyaratan berbeda diterapkan terhadap calon presiden dan wakil presiden.

Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur salah satu persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden.

Pasal tersebut menyatakan bahwa seorang calon presiden atau wakil presiden tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukam tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

"Kan enggak mungkin pemilunya serentak, sementara syarat calonnya berbeda-beda. Padahal kelembagaan negara ini ada di level yang sama dan setara. Itu yang dilakukan oleh KPU," kata Fadli.

Secara terpisah mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay berpendapat, dengan adanya perbedaan syarat tersebut, KPU sebagai pihak penyelenggara pemilu memiliki kewenangan membuat pelarangan mantan napi korupsi ikut dalam Pileg 2019.

Ketentuan tersebut dapat diatur dalam PKPU agar syarat pencalonan dapat setara dan tidak diskriminatif.

"Itu (PKPU) memang masih perdebatan. Tapi menurut saya KPU punya kewenangan mengatur. Maka penyelenggara bisa menatanya, mengambil wewenang supaya syarat ini menjadi setara," kata Hadar dalam sebuah diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (13/4/2018).

https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/10150891/langkah-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-jadi-caleg-terganjal-pemerintah

Terkini Lainnya

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Nasional
KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

Nasional
Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Nasional
Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Nasional
BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke