Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam Kasus Gafatar, Negara Gagal Contohkan Toleransi

Kompas.com - 22/03/2018, 23:25 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik adanya bias dalam proses hukum yang melibatkan unsur keagamaan. Hal itu yang terkadang menimbulkan adanya gesekan yang berujung pada tindak kekerasan atas nama agama.

Ia berkaca pada proses hukum yang tidak seimbang dalam kasus kelompok Gafatar yang telah bubar pada 2015 silam. Menurutnya, meskipun Gafatar sempat didirikan oleh tokoh dari Negara Islam Indonesia dan Al Qiyadah Islamiyah, Gafatar telah melakukan transformasi pemikiran dan tindakannya menjadi pro Pancasila dan menjalankan nilai-nilai keagamaan secara universal.

Namun demikian, pemerintah tetap menganggap organisasi tersebut meresahkan dan menyesatkan. Masyarakat pun, kata dia, turut melihat Gafatar adalah organisasi yang berbahaya.

Baca juga : Putusan Hakim, Tiga Mantan Petinggi Gafatar Tak Terbukti Makar

Padahal, di sisi lain, Gafatar berhasil melakukan sejumlah program sosial yang menaikkan kualitas hidup pengikutnya, seperti mengelola lahan gambut untuk kepentingan pertanian hingga membersihkan sampah di sungai.

"Celakanya negara tidak imbang, dan tidak bisa mengajarkan nilai toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika," kata dia.

Menurut dia, ada banyak program sosial yang berhasil dilakukan oleh eks Gafatar bisa dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan masyarakat luas.

"Bayangkan kalau kemampuan eks Gafatar yang bisa mengelola lahan gambut dengan baik, dimanfaatkan negara. Berapa besar kemampuan bangsa ini untuk maju," kata dia.

Baca juga : Tiga Mantan Petinggi Gafatar Divonis Penjara Terkait Penodaan Agama

Sehingga ia menilai, pemerintah dan masyarakat tak perlu mengutamakan aksi kekerasan dan saling mengintai perbedaan keyakinan setiap orang.

Sementara itu, peneliti Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara menilai, pemerintah kerapkali tunduk pada tekanan mayoritas dalam melakukan proses terhadap individu atau kelompok keyakinan minoritas. Ia sepakat bahwa tak berimbangnya penegakan hukum berimbas pada maraknya aksi persekusi.

"Saya juga mendorong adanya sikap tegas soal tindak kekerasan berbasis atas nama agama, apapun itu. Jadi saya kira tidak ada kekerasan atas nama agama, karena itu dosa besar," ungkapnya.

Sebab, kata Robi, perbedaan proses hukum yang melibatkan unsur keagamaan akan semakin menimbulkan prasangka buruk antar umat beragama. Oleh karena itu ia berharap pemerintah harus bersikap tegas dan seimbang berdasarkan konstitusi dan hak asasi manusia.

Kompas TV Ahmad Musadeq dan sejumlah pemimpin Gerakan Fajar Nusantara dituntut hukuman 12 tahun penjara. Sementara, terdakwa lain Andri Cahya dituntut 10 tahun penjara. Tuntutan ini diajukan jaksa, dalam sidang lanjutan kasus makar dan penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (8/2) kemarin. Atas tuntutan itu, kuasa hukum terdakwa langsung menyatakan keberatan. Sidang berikutnya akan digelar pekan depan dengan agenda pembacaan pleidoi ketiga terdakwa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com