JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa Mahful Muis Tumanurung mengatakan, pendirian Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara dan pelantikan pengurus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tidak dimaksudkan sebagai upaya pemufakatan jahat untuk melakukan makar.
Hal itu disampaikan Mahful dalam agenda ke-23 kasus dugaan penistaan agama dan makar dengan agenda pembacan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Kamis (16/2/2017).
"Bahwa tidak benar jika pendirian Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara dan pelantikan pengurus di tingkat pusat, wilayah, daerah, dan Kabupaten adalah pemufakatan jahat dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan," kata Mahful.
Menurut Mahful, para terdakwa yang merupakan eks petinggi Gafatar dan pengikut Millah Abraham mencintai dan mengakui pemerintah yang sedang berkuasa. Selain itu, lanjut dia, para penganut Gafatar ingin turut membangun Indonesia.
(Baca: Mantan Petinggi Gafatar: Fatwa MUI Intoleran terhadap Minoritas)
"Mengabdi dan membangun bangsa ini melalui program kedaulatan pangan yang juga menjadi bagian dari Nawacita bapak Presiden Joko Widodo," ujar Mahfud.
Sebelumnya, Mahful mengatakan anggota Gafatar ingin menjadikan Kalimantan sebagai pilot projects pertanian mandiri.
Menurut Mahful, Kalimantan merupakan daerah subur dan strategis bagi eks anggota Gafatar untuk bertani. Harga lahan di sana dianggap terjangkau bagi eks anggota Gafatar yang berpindah dari kampung halamannya dengan biaya pribadi.
(Baca: Diskriminasi dan Nasib Anak-anak Eks Gafatar yang Terlupakan)
Pada 13 Agustus 2015, organisasi Gafatar dibubarkan melalui kongres luar biasa. Saat dibubarkan, anggota Gafatar mencapai sekitar 50.000 orang. Jumlah simpatisannya lebih banyak dari angka tersebut.
Dalam perkara ini, Mahful dituntut hukuman 12 tahun penjara. Eks petinggi Gafatar lainnya, Ahmad Musadeq juga dituntut 12 tahun. Sedangkan anak Musadeq yang juga presidium Gafatar, Andri Cahya, dituntut 10 tahun penjara.