Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelaporan Pertemuan Jokowi-PSI ke Ombudsman RI Dianggap Berlebihan

Kompas.com - 06/03/2018, 16:44 WIB
Moh. Nadlir,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) melaporkan peristiwa pertemuan Presiden Joko Widodo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke Ombudsman Indonesia. Pelaporan pertemuan Jokowi dan PSI di Istana Negara itu salah satunya karena adanya pembahasan mengenai pemenangan Pilpres 2019.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menganggap pertemuan Jokowi dan PSI tak melanggar hukum.

"Pertemuan tersebut secara ketatanegaraan merupakan tindakan yang sah dan bukanlah kategori perbuatan melawan hukum," kata Bayu dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/3/2018).

Bahkan, menurut Bayu, pelaporan ACTA tersebut adalah tindakan yang berlebih. Meski, di dalam negara demokrasi hal itu merupakan hal yang diperbolehkan.

Baca juga : Jubir: Presiden Sering Bertemu Ketum Parpol di Istana, Kenapa Baru Lapor Sekarang?

"Berlebihan karena mengandung ketidakjelasan perihal perbuatan melawan hukum dan melampaui wewenang apa yang diduga dilakukan oleh Presiden," kata pakar hukum tata negara tersebut.

Kata Bayu, UUD ahun 1945 menyebut, dalam menjalankan tugasnya, Presiden wajib menjalin komunikasi dengan suprastuktur politik dalam negara yaitu lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, dan lainnya.

"Maupun komunikasi dengan infrastruktur politik dalam negara yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan, partai politik, dan berbagai kelompok kepentingan di masyarakat," kata Bayu.

Bayu juga berujar, mengenai siapa saja yang boleh dan tidak boleh menjadi tamu Presiden di Istana Negara memang tidak ada aturannya dalam Undang-Undang.  Sebab, aturan rinci mengenai siapa-siapa yang dapat menjadi tamu Presiden justru akan membatasi ruang gerak Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Kompas TV Menurut Johan, pertemuan - pertemuan dengan parpol membahas politik kebangsaan. Bentuknya adalah silaturahim presiden dengan parpol.


"Satu-satunya yang bisa dijadikan patokan hukum oleh Presiden dalam memilih dan memilah siapa yang sebaiknya ditemui dan tidak ditemui hanyalah rambu-rambu dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945," kata dia.

"Yaitu tindakan Presiden dalam menerima tamu tersebut jangan sampai masuk kategori sebagai perbuatan tercela yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden," sambungan.

Tak cuma itu, kata Bayu, peraturan perundang-undangan Indonesia juga tidak melarang Presiden menerima kunjungan Pribadi di luar kunjungan resmi atau kunjungan kerja, bahkan untuk tamu asing sekalipun.

Misalnua, pasal 33 ayat (3) UU Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan mengatur kunjungan tamu asing kepada Presiden dapat berupa kunjungan kenegaraan; kunjungan resmi; kunjungan kerja; atau kunjungan pribadi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com