JAKARTA, KOMPAS.com - Keriuhan Ballroom Hotel Borobudur Jakarta mulai surut. Kursi-kursi putih yang sejak pagi diduduki ratusan orang juga mengosong. Namun pria asal Makassar itu masih menyempatkan diri bercengkrama dengan beberapa awak media.
Sesekali bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak hampir setengah lingkaran di atas dagunya yang dipenuhi jenggot. Ia tersenyum, menceritakan masa lalunya yang kelam, namun penuh hikmah.
Laki-laki itu adalah Muhtar Daeng Lau. Tentu saja namanya terkesan asing. Namun pada 2003 silam, tepatnya di Makassar, nama itu kerap disebut-sebut.
Muhtar merupakan mantan narapidana terorisme bom di Mc Donald Mal Ratu Indah Makassar pada 5 Desember 15 tahun silam. Ia hadir di Hotel Borobudur untuk menghadiri acara pertemuan antara eks napi terorisme dengan korban.
“Saya divonis penjara 7 tahun, tetapi karena remisi jadi hanya 4 tahun 7 bulan,” ujarnya.
(Baca juga: Eks Napi Teroris: Bom Bali I Membuka Misteri Rentetan Bom di Indonesia)
Mendekam di penjara selama 4 tahun 7 punya banyak hikmah bagi bapak lima anak itu. Selain mendapatkan pencerahan terkait kesia-siaan aksi teror, ia juga mendapatkan banyak pelajaran dan ide.
Perenungannya di balik jeruji besi justru mengenalkannya kepada arti perjuangan sesungguhnya. Apalagi kalau bukan perjuangan membahagiakan keluarganya.
Saat penjara, pria yang punya gelar sarjana pendidikan agama Islam itu meninggalkan istri dan beberapa anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari situlah ia memulai perjuangan sesungguhnya.
Dari Kopi Hingga Buku
Sejak awal di penjara, Muhtar merasa mendapatkan perlakuan yang tak tidak adil bahkan disiksa. Namun seiring waktu berjalan, ia menerima hal itu dan justru banyak merenung.
Sementara di luar penjara, ia juga memikirkan kelanjutan hidup istri dan anak-anaknya yang tetap butuh biaya hidup. Kesadarannya sebagai kepala keluarga membawanya tetap sadar akan tanggung jawab.
(Baca juga: Mantan Teroris: Anak yang Lama Hilang Kini Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi...)
Entah dari mana inspirasinya, Muhtar punya ide untuk menjual kopi di dalam penjara. Dengan berbagai upaya, ia bahkan mengatakan membuat warung kopi kecil-kecilan. Pembelinya tentu saja petugas lapas dan para tahanan lainnya di Lapas Kelas 1 Makasaar.
Selain kopi, Muhtar bersama narapidana lain juga mencari nafkah dengan cara lainnya. Di antaranya yakni dengan menjual hasil kerajinan tangan yang dibuat dari dalam penjara.
Pada waktu bersamaan pula, ia mulai menulis. Alur cerita tentang peristiwa bom Makassar 2003 hingga hari-harinya di penjara ia tuliskan. Tak disangka tulisnya itu justru menjadi buku.
Berbagai jerih payahnya selama di penjara dikirimkan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya yang ia sayangi. Setahun setelah bebas dari penjara pada 2008 silam, ia meluncurkan bukunya berjudul “Sekelumit Hikmah Bom Makassar: Sebuah Kisah Nyata dari Balik Sel”.