JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi II DPR, Ace Hasan Syadzily, mengatakan, semua pihak harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menyetarakan aliran kepercayaan dengan enam agama resmi di Indonesia.
"Saya kira keputusan MK harus kita hormati. MK telah memutuskan berdasarkan pada landasan konstitusi negara kita," kata Ace melalui pesan singkat, Rabu (8/11/2017).
Menurut dia, setiap warga negara berhak untuk dilindungi oleh negara dalam menjalankan kepercayaan agamanya masing-masing.
Ia menambahkan, putusan MK tersebut sekaligus menunjukkan pengakuan negara terhadap penganut aliran kepercayaan yang juga merupakan bagian dari warga negara.
Politisi Golkar itu meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri harus menindaklanjutinya dalam peraturan teknis.
"Itu merupakan bentuk pengakuan negara atas perlindungan terhadap kepercayaan WNI tanpa diskriminasi," lanjutnya.
(Baca: Putusan MK soal Penghayat Kepercayaan Munculkan Kekhawatiran Lain)
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP).
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Administrasi Kependudukan.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
(Baca juga: UU Adminduk Akan Direvisi Pasca-putusan MK soal Penghayat Kepercayaan)
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
Selain itu, lanjut Arief, MK juga memutuskan Pasal 61 Ayat (2) dan Pasal 64 Ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 61 Ayat 2 berbunyi, "Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan."
Pasal 64 Ayat 5 menyatakan, "Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.