JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) bagi penghayat kepercayaan.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun berjanji akan segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan memperbaiki Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan database kependudukan serta sosialisasi ke seluruh Indonesia putusan itu.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arief Fakhrullah mengatakan bahwa perbaikan SIAK dan penyiapan formulir tersebut butuh waktu kurang lebih sebulan lamanya.
"Saya perlu waktu kira-kira satu bulan untuk pembenahan aplikasi SIAK dan sosialisasi ke Dukcapil se-Indonesia dan menyiapkan form-formnya," kata Zudan melalui pesan singkatnya, Rabu (8/11/2017).
(Baca juga : MK: Hak Penganut Kepercayaan Setara dengan Pemeluk 6 Agama)
Karenanya, kata Zudan, para penghayat kepercayaan diminta bersabar agar bisa mendapatkan KK dan e-KTP baru dengan perubahan kolom agama sebagaimana putusan MK sampai sebulan ke depan.
"Iya benar, perbaiki dulu aplikasi SIAK," ujar Zudan.
Soal apakah nanti rincian aliran kepercayaan yang dianut akan ditulis di KK dan e-KTP, menurut Zudan, saat ini persoalan tersebut sedang dibahas antara Kemendagri, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Sedang dikoordinasikan dengan Kemenag dan Kemendikbud. Ada plus-minusnya sedang dibahas saat ini," ujar Zudan.
Sebagaimana diketahui, MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
"Bahwa agar tujuan mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain," ujar Hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
MK memutuskan kata "agama" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat.
Permohonan uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Para pemohon sebelumnya menilai, ketentuan di dalam UU Adminduk itu dinilai tidak mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga negara.
Selama ini, para penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.