Tanggal 1 Juni 2010, saya menulis kembali pengalaman saya meliput acara haul Bung Karno ke-31 di Blitar, Jawa Timur. Tulisan ini dimuat di Harian Kompas halaman 2 dalam rubrik Sisi Lain Istana, di bawah judul "Aroma Bung Karno".
Pada kalimat awal artikel ini saya tuliskan, "Juni adalah bulan Bung Karno". Sehari kemudian, di jalan depan sayap kanan gedung Redaksi Harian Kompas, Pal Merah Selatan, Jakarta Pusat, terpasang spanduk bertuliskan, "Juni Bulan Bung Karno". Saya tidak tahu siapa yang memasang spanduk ini. Seminggu kemudian spanduk itu tidak ada lagi.
Alasan saya menulis kalimat, "Juni adalah bulan Bung Karno" terkait dengan tiga peristiwa penting tentang Presiden RI pertama yang terjadi pada bulan itu.
Tanggal 1 Juni 1901, Bung Karno lahir di Surabaya, bukan di Blitar seperti dalam artikel saya tanggal 1 Juni 2010. Tanggal 1 Juni 1945, di depan siding Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPKI, Bung Karno diminta pidato tentang dasar Negara. Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang Pancasila. BPUPKI secara aklamasi bulat menyetujui gagasan Bung Karno tentang Pancasila ditetapkan sebagai dasar Negara Indonesia.
Kemudian, Minggu pagi pukul 07.00 waktu Jakarta, tanggal 21 Juni 1971, Bung Karno wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat atau RSPAD Jakarta. Hari itu juga, pada petang hari jenazah Bung Karno dimakamkan di Blitar. Saat itu, seluruh warga bangsa Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang. Bung Karno wafat persis 15 hari setelah ulang tahunnya yang ke-69.
Pada Juni 1987, saya meliput acara haul Bung Karno ke-17 di Jakarta. Dalam acara itu dibagi buku berjudul "17 Tahun Yang Lalu – Bung Karno wafat – 21 Juni 1970".
Buku dengan sampul depan foto Bung Karno dan latarbelakang bendera Merah Putih itu memuat beberapa artikel dan kliping koran serta majalah luar dan dalam negeri yang memberitakan Bung Karno wafat 21 Juni 1970 lalu. Perlu dicatat, tahun 1987 adalah masa gencarnya aksi "desukarnoisasi" oleh Orde Baru.
Beberapa artikel di antaranya adalah tulisan Menteri Penerangan jaman pemerintahan Bung Karno dan Soeharto Burhanuddin Mohammad Diah alias BM Diah yang lahir di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), 7 April 1917, dan wafat di Jakarta pada 10 Juni 1996 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
BM Diah jadi Menteri Penerangan pada masa Bung Karno, 25 Juli 1966 sampai 17 Oktober 1967, dan masa Soeharto, 17 Oktober 1967 sampai 1968. Ia juga terkenal dengan julukan wartawan tiga jaman yang pernah menjadi duta besar di Cekoslowakia, Hongaria dan Inggris.
Di bawah judul, "Bung Karno Bapak Kemerdekaan", BM Diah antara lain mengatakan, Bung Karno adalah arsitek dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
"Tanpa Soekarno tidak ada Satu Indonesia, tidak ada Satu bangsa, tidak ada Indonesia merdeka, tidak ada bendera , tidak ada lagu Indonesia Raya dan tidak ada satu Undang-undang Dasar 1945," demikian cuplikan tulisannya.
Menurut Diah, dengan Pancasila, Bung Karno menghendaki dunia baru. Ia, Bung Karno, ingin dunia mengambil Pancasila ini sebagai contoh.
"Bung Karno memberikan Pancasila pada dunia, jika sekiranya dunia mau menerimanya," kata BM Diah.
Penulis lainnya adalah Mohammad Isnaeni, yang lahir di Ponorogo, Jawa Timur 19 April 1919 dan wafat di Jakarta pada 27 Oktober 2002. Isnaeni adalah Wakil Ketua DPR/MPR 1966 hingga 1982 dan Dubes RI untuk Rumania 1982 sampai 1983.
Di dalam artikel berjudul "Sekali lagi tentang hari Lahirnya Panca-Sila", Isnaeni mengatakan, "Memang aneh, setelah Bung Karno tidak ada, masalah hari lahirnya Pancasila sekarang dipersoalkan."
Kemudian Isnaeni, antara lain menceritakan pengalamannya hadir sebagai Wakil Ketua DPR/MPR dalam acara peresmian Gedung Pancasila di Departemen Luar Negeri, Jalan Pejambon nomor 6, Jakarta Pusat, tanggal 20 Agustus 1975. Ketika itu, kata Isnaeni, acara ini ditandai dengan pidato resmi Menteri Luar Negeri Adam Malik yang mengatakan, Pancasila dilahirkan di gedung ini pada 1 Juni 1945.