JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kontradiktif alasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Donal, salah satu alasan Komisi III DPR untuk menyatakan hak angket adalah adanya dugaan kebocoran data atau informasi KPK.
Namun, di sisi lain, hak angket justru memaksa KPK untuk membuka dokumen atau data yang bersifat rahasia.
"Di satu sisi mereka memaksa KPK untuk membocorkan informasi di wilayah pro justicia. Itu sudah kontradiktif," ujar Donal dalam diskusi Smart FM di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4/2017).
(baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)
Menurut Donal, sesuai Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen terkait penyelidikan dan penyidikan merupakan informasi yang dikecualikan.
Dengan demikian, rekaman dan berita acara penyidikan termasuk data rahasia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, hak angket yang digulirkan itu berada dalam konteks fungsi pengawasan DPR.
Menurut Masinton, salah satu alasan hak angket, karena Komisi III melihat ada laporan-laporan ke DPR soal surat perintah penyidikan bocor dan dakwaan bocor.
(baca: Ini Daftar 26 Anggota DPR Pengusul Hak Angket KPK)
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.
(baca: Alasan Fadli Zon "Walk Out" Belakangan Saat DPR Putuskan Angket KPK)