JAKARTA, KOMPAS.com — Isu penyadapan kembali menjadi perbincangan hangat di publik. Kali ini, isu itu diembuskan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
SBY bereaksi atas fakta persidangan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang disangka menodai agama.
Awalnya, tim pengacara Ahok mengaku memiliki bukti soal komunikasi antara SBY dan Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin.
Hal itu yang ditanyakan pengacara kepada Ma'ruf yang dihadirkan sebagai saksi.
"Apakah pada hari Kamis, sebelum bertemu paslon nomor satu pada hari Jumat, ada telepon dari Pak SBY pukul 10.16 WIB yang menyatakan, pertama, mohon diatur pertemuan dengan Agus dan Sylvi bisa diterima di kantor PBNU, kedua, minta segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama?" kata Humphrey Djemat, salah satu pengacara Ahok, kepada Ma'ruf.
Keesokan harinya, SBY bereaksi. Ia merasa komunikasinya lewat telepon selama ini disadap secara ilegal.
Meski tidak tahu bukti apa yang dimiliki pihak Ahok, SBY menganggap hal itu adalah sebuah kejahatan.
SBY mengaku mendapat informasi bahwa komunikasinya disadap dari seseorang. Namun, ia tidak mau mengungkap identitasnya.
Ia juga bercerita bahwa sahabatnya tidak berani menerima teleponnya karena takut disadap.
Sahabatnya itu, kata SBY, diingatkan oleh seseorang di lingkar kekuasaan agar hati-hati bahwa telepon tengah disadap.
Ia juga tak mau mengungkap siapa sahabatnya itu dan siapa orang di lingkar kekuasaan yang memberi tahu.
Dalam pernyataannya, SBY membandingkan apa yang dia rasa dengan skandal Watergate yang terjadi di Amerika Serikat.
Ketua Umum Partai Demokrat itu merasa privasinya sudah diganggu.
"Saya hanya mohon keadilan, tidak lebih dari itu karena hak saya sudah diinjak-injak dan privasi saya yang dijamin telah dibatalkan dengan cara disadap dengan cara tidak legal," ujar SBY.
SBY juga meminta penjelasan Presiden Joko Widodo atas dugaannya itu. SBY berandai, jika benar dirinya disadap, maka hukum rimba terjadi.