Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Transparan Saat Cari Hakim MK Pengganti Patrialis

Kompas.com - 29/01/2017, 08:03 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, mengatakan, tertangkap tangannya hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dalam kasus dugaan korupsi merupakan dampak dari tidak transparannya proses seleksi hakim pada masa sebelumnya.

Arteria mengatakan agar pemerintah sekarang mengedepankan transparansi dalam proses seleksi agar rekam jejak calon hakim bisa dinilai oleh masyarakat.

"Pemerintah wajib mencari hakim pengganti Pak Patrialis dengan melakukan mekanisme rekrutmen yang transparan," kata Arteria melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com pada Minggu (29/1/2017).

Proses seleksi hakim harus melibatkan stakeholder penegakan hukum. Selain itu, harus ada yang menampung aspirasi masyarakat apakah calon tersebut bisa diterima secara moral dan etika.

Karena itu, perlu dirumuskan bentuk rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang transparan dan berintegritas.

"Tidak seperti saat pemerintah merekrut tiga nama dengan begitu tertutupnya yang terkesan tidak berbasis kompetensi, melainkan relasi," kata Arteria.

Kejadian seperti itu juga ditemukan dalam seleksi pemilihan hakim agung di Mahkamah Agung (MA). Secara tiba-tiba, kata Arteria, muncul nama-nama yang tidak diketahui latar belakangnya. Dia mengatakan, kasus Patrialis semakin mempertegas bobroknya sistem penegakan hukum di MK.

Sebelum kasus Patrialis terjadi, mantan Ketua MK Akil Mochtar juga tertangkap tangan dalam operasi KPK dan terbukti menerima suap atas pengurusan sejumlah sengketa pilkada.

"Ini hukumnya sudah keadaan darurat hukum, di mana MK yamg diamanahkan sebagai pengawal konstitusi dan penjaga demokrasi, masih belum dapat memulihkan kepercayaan publik dan menyucikan diri untuk keluar dari potret peristiwa kelam saat tertangkapnya Akil," kata Arteria.

Arteria mengapresiasi upaya penegakan hukum oleh KPK terhadap Patrialis. Namun, dia mengatakan, asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan.

KPK menangkap Patrialis di pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat, Rabu lalu. Patrialis diduga menerima suap senilai 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura, atau sekitar Rp 2,15 miliar.

Suap diduga diberikan oleh pengusaha impor daging bernama Basuki Hariman. Uang suap diberikan agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi. Perkara gugatan yang dimaksud adalah uji materi nomor 129/puu/XII/2015. Pengujian tersebut terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Kompas TV Istri Patrialis Akbar Bawakan Barang Keperluan Sehari-Hari
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com