Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penangkapan Patrialis Akbar Tak Mengejutkan Aktivis Antikorupsi

Kompas.com - 27/01/2017, 13:17 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap tidak mengejutkan bagi pegiat antikorupsi dan pengamat lembaga peradilan.

Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan, pengangkatan Patrialis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui keputusan presiden pada 29 Juli 2013 tidak melalui proses yang wajar.

Menurut Tama, Keppres pengangkatan dengan Nomor 87/P Tahun 2013 bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

"Kami bersama YLBHI pernah menolak keppres tersebut karena tidak melalui proses sesuai UU MK," ujar Tama saat memberikan keterangan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).

Tama menjelaskan, pengangkatan Patrialis melanggar pasal 19 UU MK karena tidak terbuka dan transparan.

Selain itu, proses seleksi juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam hal pengawasan, pemantauan dan pemberian masukan bagi calon hakim MK. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam pasal 19 dan pasal 20 ayat 2 UU MK.

"Saya menilai praktik korupsi muncul karena proses rekrutmen Patrialis yang tidak transparan," kata Tama.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani. Ismail mengatakan, banyak pihak tidak terkejut dengan peristiwa yang menimpa mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Patrialis menjadi hakim MK, kata Ismail, tanpa proses seleksi yang wajar, karena hanya ditunjuk oleh SBY tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan undang-undang.

"Proses seleksi pun dipersoalkan oleh organisasi masyarakat sipil, hingga berujung ke pengadilan tata usaha negara," ujar Ismail melalui keterangan tertulis, Kamis (26/1/2017).

Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 yang menunjuk pengangkatan Patrialis bersama Maria Farida itu pun sempat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Atas gugatan itu, PTUN membatalkan keppres pengangkatan itu.

Putusan PTUN kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sehingga Patrialis dan Maria Farida tetap sah menjabat hakim konstitusi.

(Baca juga: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)

Sering melanggar etika

Terkait rekam jejak, Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar mengatakan, Patrialis merupakan hakim konstitusi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat.

Erwin menyebut Patrialis pernah secara diam-diam bertemu dengan Akil Mochtar dalam salah sidang tindak pidana korupsi. Akil merupakan terpidana kasus suap sengketa Pilkada.

Halaman:


Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com