JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan hakim konstitusi Patrialis Akbar sebagai tersangka.
Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.
Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK.
Menurut KPK, Patrialis menjanjikan BHR, importir daging, akan membantu agar uji materi tersebut dikabulkan MK.
(baca: KPK: Patrialis Janjikan Uji Materi UU No 41/2014 Dikabulkan MK)
BHR yang memiliki 20 perusahaan ingin uji materi dikabulkan agar bisnis impor dagingnya dapat lebih lancar.
Sepanjang sejarah berdirinya MK, ini merupakan kali kedua terungkapnya kasus korupsi di Mahkamah Konstitusi oleh KPK.
Sebelumnya, KPK menjerat Akil Mochtar selaku Ketua MK, dalam suap terkait penanganan sengketa pilkada.
Sampai tingkat kasasi, Akil divonis bersalah dengan hukuman seumur hidup.
Adapun, kesamaan kedua kasus korupsi yang terjadi di MK tersebut adalah sama-sama menjerat mantan politisi.
Akil merupakan mantan politisi Partai Golkar yang pernah menjadi anggota DPR periode 1999-2004 dan 2004-2009.
Sedangkan Patrialis merupakan mantan politisi PAN yang pernah menjabat anggota DPR periode 1999-2004.
Patrialis sempat menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era presiden SBY. Namun, SBY kemudian melakukan perombakan kabinet, dan posisi Patrialis digantik oleh Amir Syamsuddin.
Berbeda dengan Akil yang menjadi hakim konstitusi dengan cara mendaftar dan terpilih pada 1998, Patrialis menjadi hakim konstitusi setelah ditunjuk oleh Presiden SBY melalui keputusan presiden pada 29 Juli 2013.
Patrialis ditunjuk untuk menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun sebagai hakim konstitusi pada Agustus 2013.
Namun, Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 yang menunjuk pengangkatan Patrialis bersama Maria Farida itu sempat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Atas gugatan itu, PTUN membatalkan keppres pengangkatan itu. Putusan PTUN kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sehingga Patrialis dan Maria Farida tetap sah menjabat hakim konstitusi.