JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mempertanyakan dasar hukum wacana pembebanan biaya sosial bagi koruptor sebagaimana yang diwacanakan salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Yang penting harus ada dasar hukumnya. Kalau memang ada tujuan begitu, apa dasar hukumnya? Kan harus disiapkan," ujar Yasona di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat (16/7/2016).
Ia pun belum dapat menyetujui atau tidak menyetujui akan usulan itu jika belum ada dasar hukumnya.
Namun, menurut Yasonna, jika tujuannya itu adalah untuk memberikan efek jera sekaligus gentar, penegak hukum bisa mengoptimalkan penyidikan pada tindak pidana pencucian uang dalam setiap perkara korupsi.
(Baca: Kendala Hukuman Biaya Sosial)
"Kalau saya lebih cenderung usut tindak pidana pencucian uangnya dan dikenakan denda tinggi," ujar Yasona.
"Karena koruptor kan mencari uang. Kalau uang dia ditarik semua, mau jadi apa mereka? Maka itu pengusutan pencucian uangnya harus betul-betul, sekaligus dikasih denda tinggi," lanjut dia.
Apalagi, pengusutan tindak pidana pencucian uang sudah mempunyai dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jadi, tidak perlu lagi sulit-sulit membuat payung hukum baru.
Yasona mengatakan, KPK sendiri belum berkomunikasi dengan dirinya terkait usulan tersebut. Namun, ia siap jika KPK hendak mendiskusikan rencana implementasi usulan tersebut.
(Baca: ICW: Biaya Sosial Harus Masuk Pidana Pokok di Satu Undang-undang)
Sebelumnya, KPK mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial. Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
(Baca: Anggota Komisi III: Hukuman Koruptor Lewat Biaya Sosial Harus Melalui Revisi UU)
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa (13/9), menuturkan, KPK pernah mengkaji penerapan upaya ”luar biasa” untuk menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud.
Dia mencontohkan, kerugian akibat jembatan yang roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya semata nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi.
”Kami optimistis akan mencoba (biaya sosial korupsi) pada periode kami sekarang ini,” kata Laode yang masa jabatannya berlangsung hingga 2019.