Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menkumham Pertanyakan Dasar Hukum KPK Terapkan Biaya Sosial bagi Koruptor

Kompas.com - 16/09/2016, 18:16 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mempertanyakan dasar hukum wacana pembebanan biaya sosial bagi koruptor sebagaimana yang diwacanakan salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Yang penting harus ada dasar hukumnya. Kalau memang ada tujuan begitu, apa dasar hukumnya? Kan harus disiapkan," ujar Yasona di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat (16/7/2016).

Ia pun belum dapat menyetujui atau tidak menyetujui akan usulan itu jika belum ada dasar hukumnya.

Namun, menurut Yasonna, jika tujuannya itu adalah untuk memberikan efek jera sekaligus gentar, penegak hukum bisa mengoptimalkan penyidikan pada tindak pidana pencucian uang dalam setiap perkara korupsi.

(Baca: Kendala Hukuman Biaya Sosial)

"Kalau saya lebih cenderung usut tindak pidana pencucian uangnya dan dikenakan denda tinggi," ujar Yasona.

"Karena koruptor kan mencari uang. Kalau uang dia ditarik semua, mau jadi apa mereka? Maka itu pengusutan pencucian uangnya harus betul-betul, sekaligus dikasih denda tinggi," lanjut dia.

Apalagi, pengusutan tindak pidana pencucian uang sudah mempunyai dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jadi, tidak perlu lagi sulit-sulit membuat payung hukum baru.

Yasona mengatakan, KPK sendiri belum berkomunikasi dengan dirinya terkait usulan tersebut. Namun, ia siap jika KPK hendak mendiskusikan rencana implementasi usulan tersebut.

(Baca: ICW: Biaya Sosial Harus Masuk Pidana Pokok di Satu Undang-undang)

Sebelumnya, KPK mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial. Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.

Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.

Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.

(Baca: Anggota Komisi III: Hukuman Koruptor Lewat Biaya Sosial Harus Melalui Revisi UU)

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa (13/9), menuturkan, KPK pernah mengkaji penerapan upaya ”luar biasa” untuk menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud.

Dia mencontohkan, kerugian akibat jembatan yang roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya semata nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi.

”Kami optimistis akan mencoba (biaya sosial korupsi) pada periode kami sekarang ini,” kata Laode yang masa jabatannya berlangsung hingga 2019.

Kompas TV ICW: Dari 384 Kasus, 46 Terdakwa Divonis Bebas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Nasional
Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

Nasional
KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

Nasional
Kompolnas Dorong Motif Bunuh Diri Brigadir RAT Tetap Diusut, Meski Penyelidikan Kasus Dihentikan

Kompolnas Dorong Motif Bunuh Diri Brigadir RAT Tetap Diusut, Meski Penyelidikan Kasus Dihentikan

Nasional
Airin Hadir di Taaruf Muhaimin Bersama Calon Kepala Daerah

Airin Hadir di Taaruf Muhaimin Bersama Calon Kepala Daerah

Nasional
Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Nasional
MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

Nasional
Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com