JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Perempuan Azriana meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempertimbangkan ulang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang mengatur hukuman kebiri.
Selain itu, ia juga meminta DPR untuk segera melakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum yang akan melindungi perempuan dan anak Indonesia dari kekerasan seksual serta memberikan keadilan bagi korban," kata Azriana dalam keterangan tertulis, Kamis (26/5/2016).
Menurut Azriana, agar menghasilkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, dibutuhkan penegakan hukum yang serius dan hukuman yang maksimal bagi pelaku.
Azriana mengatakan, hal itu telah diatur dalam KUHP, UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dia menilai penandatanganan perppu kebiri menunjukkan sikap reaktif dan parsial pemerintah terhadap penanganan kejahatan seksual yang seharusnya dilakukan secara sistematis, komprehensif dan terukur.
"Pemerintah terkesan baru menyadari pentingnya penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan seksual," ucap Azriana.
Azriana mengatakan, setiap 2 jam terdapat 3 perempuan, termasuk anak perempuan, menjadi korban kejahatan seksual sejak tahun 2013.
Sayangnya, data tersebut tidak menjadi pertimbangan ketika adanya perubahan UU Perlindungan Anak dilakukan pada 2015. Sehingga, harus dilakukan perubahan lagi tahun ini melalui Perppu.
Azriana menyatakan ketidaksetujuan terhadap pembedaan respons atas kekerasan seksual terhadap anak dengan respon terhadap perempuan. Hal itu memberi kesan satu tidak lebih penting dari lainnya.
"Padahal kerentanan perempuan terhadap perkosaan sama dengan kerentanan anak dan dampak perkosaan terhadap perempuan tidak kalah buruknya," ujar Azriana.
"Karena masih adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang menimpa perempuan Indonesia baik dewasa maupun anak," ucapnya.