Dari jumlah tersebut, laporan dipilah dalam bentuk kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 60 persen, kekerasan dalam pacaran (KDP) 24 persen, kekerasan terhadap anak perempuan 8 persen.
Sisanya, adalah kekerasan mantan suami, mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Tingginya presentase kasus KTI, menurut Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Indraswari, menunjukkan bahwa rumah belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.
Menurut dia, hal tersebut terjadi karena ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar.
"Antara lain itu ditunjukkan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan," ujar Indraswari di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin (7/2/2016).
Lebih lanjut, dia mengatakan, meskipun sudah ada payung hukum Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun di tingkat implementasi banyak hal yang harus dibenahi.
"Pembenahan perlu agar tidak kontra produktif, seperti misalnya ada kasus istri melaporkan KDRT, yang dilakukann suaminya, suami malah menuntut balik," ungkapnya.
Tingginya kasus kekerasan dalam ranah personal khususnya terhadap istri, mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU Penghapusa KDRT.
Menurut penuturan Indraswari, belum pernah diadakan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh terkait implementasinya, meski telah berlaku selama 11 tahun.
"Kekerasan di dalam rumah tangga harus dipandang sebagai masalah kriminal, bukan semata persoalan privat," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.