Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras Kecam Pemberian Soekarno Award untuk Kim Jong Un

Kompas.com - 06/08/2015, 19:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam pemberian penghargaan kepada pemimpin tertinggi negara Korea Utara, Kim Jong Un, sebagai tokoh anti-imperialisme oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.

"Kontras meyakini ketidaketisan dan ketidaktepatan dalam pemberian penghargaan tersebut, serta mendesak Yayasan Pendidikan Soekarno segera membatalkan pemberian penghargaan," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (6/8/2015).

Menurut Haris Azhar, diberikannya penghargaan atas sikap anti-imperialisme Kim Jong Un tanpa menjadikan sikap politik Korea Utara yang menutup semua celah komunikasi terkait isu HAM dan demokrasi dengan negara lain sebagai indikator sama sekali tidak patut dilakukan. (Baca: Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Akan Mendapat Soekarno Award)

Haris menilai, pelanggaran HAM berat yang diduga kuat dilakukan oleh Pemerintah Korea Utara berdasarkan laporan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korea Utara seharusnya menjadi indikator penting dalam menentukan pemberian gelar dalam bentuk apapun. Ini termasuk pemberian gelar yang akan dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.

"Korea Utara merupakan salah satu negara dengan krisis HAM dan demokrasi terburuk, dengan adanya pelanggaran HAM yang berat secara sistematis dan meluas serta disponsori oleh negara," kata Haris.

Ia mengingatkan bahwa isi dari laporan dari Komisi Investigasi PBB telah membuktikan adanya represi dan pelanggaran HAM antara lain pelanggaran atas kebebasan berpikir, beragama dan berekspresi dengan ditutupnya akses informasi dari sumber yang independen, di mana media yang dikendalikan oleh negara adalah satu-satunya sumber diizinkan.

Kedua, diskriminasi secara sistematik dilangsungkan berdasarkan suatu sistem yang mengklasifikasikan kelas dari warga negara berdasarkan sistem sosial, gender, agama, dan opini politik.

Ketiga, pelarangan atas kebebasan bergerak dan bertempat tinggal. Sistem indoktrinasi dan diskriminasi atas dasar kelas sosial diperkuat dan dilindungi oleh kebijakan negara dalam mengisolasi warga negaranya dari kontak dengan dunia luar, yang secara kuat telah melanggar segala aspek dalam hak untuk kebebasan bergerak.

"Warga negara bahkan tidak diizinkan untuk meninggalkan provinsi mereka untuk sementara waktu tanpa ijin dari pemerintah secara resmi. Kebijakan ini dilakukan untuk membatasi arus informasi dan memaksimalkan kontrol negara, dengan mengorbankan ikatan sosial dan kekeluargaan," kata dia.

Keempat, pelanggaran hak atas pangan dan aspek terkait dari hak untuk hidup. Sebab, pemerintah Korea Utara dinilai telah menggunakan makanan sebagai alat kontrol atas penduduk.

Kelima, penahanan, penyiksaan, eksekusi sewenang-wenang di kamp-kamp penjara. Polisi dan militer dari pemerintah Korea Utara secara sistematis menggunakan kekerasan dan hukuman yang tidak manusiawi dalam rangka menciptakan iklim ketakutan bagi warga negaranya.

"Diestimasikan sekitar 80.000-120.000 tahanan politik ditahan di empat kamp tahanan politik yang cukup besar di Korea Utara," kata Haris.

Keenam, penculikan dan penghilangan paksa dari negara lain. Sejak tahun 1950 hingga sekitar tahun 1980 setelah Perang Korea , Korea Utara telah terlibat dalam penculikan sistematis, penolakan repatriasi dan penghilangan paksa dalam skala besar sebagai kebijakan negara.

Kontras menilai, enam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Korea Utara diselenggarakan atas kontrol dari sistem yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. (Baca juga: Pemberian Soekarno Award kepada Kim Jong Un Keinginan Pribadi Rachmawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com