Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Hukuman Ideal bagi Koruptor

Kompas.com - 23/03/2015, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS
- Hukuman berat bagi koruptor merupakan upaya memberikan efek jera dan memutus rantai korupsi. Menurut publik, selama ini hukuman terhadap koruptor belum berhasil memberikan efek jera. Oleh karena itu, mayoritas publik menolak jika terpidana korupsi diberi fasilitas keringanan masa hukuman atau remisi.

Penegasan jika hukuman bagi koruptor belum menimbulkan efek jera disuarakan hampir semua responden dalam jajak pendapat Kompas (89,6 persen). Rencana pelonggaran pemberian remisi atau pengurangan hukuman kepada narapidana kasus korupsi dinilai hanya akan membuat koruptor memiliki peluang baru untuk menghindari hukuman berat dan makin mencederai rasa keadilan masyarakat.

Sebelumnya, pemerintah, melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, melontarkan ide merevisi aturan tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi napi yang selama ini diperketat. Caranya, pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan agar napi pidana khusus, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme, hanya bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat dengan sejumlah syarat.

Syarat-syarat itu tak lain bersedia menjadi justice collaborator dan bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Pengertian justice collaborator adalah pelaku tindak pidana korupsi, bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.

Berbeda dengan gagasan pemberian remisi kepada koruptor, publik justru menunggu bentuk lain hukuman pidana korupsi yang mampu memberikan efek jera. Sebanyak 45,2 persen responden menyatakan hukuman penjara dan dimiskinkan akan efektif memberikan efek jera bagi koruptor. Adapun 25,1 persen responden menyatakan, penjara seumur hidup juga vonis yang bakal membuat jera koruptor. Malahan sebanyak 22,7 persen responden berpendapat ekstrem, hukuman mati harus diterapkan demi efek jera.

Selain hukuman yang diperberat, publik juga setuju jika hukuman bagi koruptor dari kalangan pejabat negara dikenakan lebih berat daripada kalangan swasta atau warga biasa. Tak kurang dari 76 persen responden menyuarakan demikian. Hal ini mengingat pejabat negara adalah pejabat publik yang seharusnya menjaga amanat yang diembannya dan memiliki akses mudah kepada uang negara.

Dalam tiga jajak pendapat Kompas bertema korupsi pada periode sebelumnya, suara responden selalu konsisten merujuk pada beratnya jenis-jenis hukuman bagi koruptor. Oleh karena itu, tak heran, menanggapi rencana pelonggaran pemberian remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM, mayoritas publik menanggapi secara negatif.

Sebanyak 70,1 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya jika terpidana korupsi diberi remisi. Selain menolak pemberian remisi, lebih dari separuh responden (59,1 persen) juga tak setuju terhadap rencana pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada napi kasus korupsi.

Meski demikian, sebagian kecil responden setuju pemberian remisi dengan beberapa syarat. Syarat itu, antara lain, telah menjalani sebagian masa hukuman, membayar lunas denda yang diputuskan di pengadilan, dan mau bekerja sama dengan aparat untuk membongkar korupsi.

Kejahatan korupsi

Dalam sejumlah kesempatan belum lama ini, Yasonna menyatakan, pengurangan hukuman merupakan hak semua napi, termasuk pelaku korupsi. Semua napi, menurut Yasonna, juga berhak mendapatkan pembebasan bersyarat, pendidikan, dan pelayanan.

Namun, alih-alih dibahas dengan memadai, rencana soal remisi ini segera bergulir menjadi kontroversi yang mengerucut pada opini bahwa pemerintah berupaya memberikan peluang pengurangan hukuman kepada napi korupsi. Sejumlah kalangan menuding pemerintah bermain-main dengan kekuasaan hukum yang dimilikinya. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai rencana pemberian remisi menunjukkan makin tidak jelasnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi (Kompas, 14 Maret 2015).

Dalam UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, korupsi tak bisa lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Ada tiga landasan penggolongan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pertama, kejahatan korupsi bersifat transnasional karena banyak koruptor menyimpan uang hasil korupsi di negara lain.

Kedua, pembuktian korupsi perlu usaha ekstrakeras. Koruptor yang menyuap, misalnya, tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi sehingga pembuktiannya cukup sulit. Ketiga, dampak korupsi cukup luas, menyangkut aspek ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta mengganggu keuangan negara. Oleh karena itu, patut kiranya hukuman terhadap koruptor bukan hanya berbeda, melainkan juga relatif lebih berat daripada pidana biasa.

Ketidakpuasan publik juga terakumulasi karena vonis terhadap pejabat pemerintah, anggota DPR atau DPRD, penegak hukum, dan pihak swasta yang terlibat korupsi tak memuaskan publik. Rata-rata tiga perempat responden tidak puas terhadap vonis terhadap pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi, kalangan anggota DPR/DPRD, dan kepada aparat penegak hukum yang terlibat korupsi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DPR Undang Para Eks Mendikbud Bahas Biaya Pendidikan, Anies Tak Hadir

DPR Undang Para Eks Mendikbud Bahas Biaya Pendidikan, Anies Tak Hadir

Nasional
Kapolri: Pengawas Eksternal Juga Monitor Penanganan Kasus Dugaan Penganiayaan AM di Padang

Kapolri: Pengawas Eksternal Juga Monitor Penanganan Kasus Dugaan Penganiayaan AM di Padang

Nasional
Modal 'Hattrick' Menang Pemilu, PDI-P Klaim Paling Siap Hadapi Pilkada

Modal "Hattrick" Menang Pemilu, PDI-P Klaim Paling Siap Hadapi Pilkada

Nasional
60 Orang yang Bekerja di DPR Terindikasi Main Judi Online, 2 di Antaranya Anggota DPR

60 Orang yang Bekerja di DPR Terindikasi Main Judi Online, 2 di Antaranya Anggota DPR

Nasional
Berkaca Perang Rusia-Ukraina, Indonesia Kembangkan Alat Tangkal Serangan Siber lewat Udara

Berkaca Perang Rusia-Ukraina, Indonesia Kembangkan Alat Tangkal Serangan Siber lewat Udara

Nasional
'Polri Harus Kembali ke Jati Diri sebagai Alat Negara yang Menjaga Jarak dengan Kepentingan Politik'

"Polri Harus Kembali ke Jati Diri sebagai Alat Negara yang Menjaga Jarak dengan Kepentingan Politik"

Nasional
Presiden Jokowi Tanya ke Menkes, Kenapa Harga Obat Mahal Tapi Industri Farmasi Tak Maju-maju

Presiden Jokowi Tanya ke Menkes, Kenapa Harga Obat Mahal Tapi Industri Farmasi Tak Maju-maju

Nasional
Jokowi Minta Menkes Cari Formulasi Harga Obat dan Alkes Murah, Ditunggu 2 Minggu

Jokowi Minta Menkes Cari Formulasi Harga Obat dan Alkes Murah, Ditunggu 2 Minggu

Nasional
Jokowi Perintahkan Jajarannya Susun Konsep Relaksasi Pajak Kesehatan dalam 2 Minggu

Jokowi Perintahkan Jajarannya Susun Konsep Relaksasi Pajak Kesehatan dalam 2 Minggu

Nasional
Kapolri Pastikan Tak Ada yang Ditutupi Dalam Penyelidikan Kematian Siswa SMP di Padang

Kapolri Pastikan Tak Ada yang Ditutupi Dalam Penyelidikan Kematian Siswa SMP di Padang

Nasional
KPK Kembalikan HP dan Buku Catatan Hasto jika Tak Terkait Perkara Harun Masiku

KPK Kembalikan HP dan Buku Catatan Hasto jika Tak Terkait Perkara Harun Masiku

Nasional
Tingkat Kemiskinan Hanya Turun 2,22 Persen Selama Jokowi Menjabat, Menkeu Enggan Beri Tanggapan

Tingkat Kemiskinan Hanya Turun 2,22 Persen Selama Jokowi Menjabat, Menkeu Enggan Beri Tanggapan

Nasional
Kapolri Terjunkan Propam dan Itwasum Cek Penyidikan Kasus Kematian Siswa SMP di Padang

Kapolri Terjunkan Propam dan Itwasum Cek Penyidikan Kasus Kematian Siswa SMP di Padang

Nasional
Bappenas Siapkan PDN di Empat Lokasi

Bappenas Siapkan PDN di Empat Lokasi

Nasional
Pendanaan Kunjungan Paus ke Indonesia Ditanggung Bersama, Bukan Hanya Satu Dua Orang

Pendanaan Kunjungan Paus ke Indonesia Ditanggung Bersama, Bukan Hanya Satu Dua Orang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com