JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya mengajukan uji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat sebaran suara untuk menentukan pemenang pemilu presiden. Hal itu untuk menghindari perdebatan dan konflik yang mungkin terjadi pascapenetapan hasil pemilu nanti.
"Yang paling pas adalah membawa (menguji) ke MK. Uji tafsir. Katakan, pasal ini bisa menimbulkan penafsiran berbeda, memunculkan ketidakpastian hukum," ujar pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Moechtar, Kamis (12/6/2014).
Ia mengatakan, dengan wewenang yang dimilikinya, KPU dapat menetapkan siapa pemenang pilpres yang dapat dilantik. Namun, kata dia, keputusan KPU itu rawan gugatan dari pihak yang keberatan atas keputusan KPU.
Ia menuturkan, mungkin saja pembuat amandemen UUD 1945 bermaksud, aturan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia tidak berlaku jika hanya ada dua pasangan calon. Namun, katanya, UUD 1945 sudah menyatakan demikian secara tersurat.
"Kalau KPU menggunakan penafsiran yang lain, pasti pihak yang tidak senang mengatakan, 'mengapa tidak mengunakan tafsir yang ini?'," kata dia.
Menurut Zaenal, penafsiran tersebut tidak bisa hanya dituangkan dalam peraturan KPU. Pasalnya, kata dia, sebagai lembaga independen, KPU hanya berwenang membuat peraturan seperti yang diperintahkan UU. Sedangkan, UU Pilpres tidak memerintahkan KPU menentukan syarat presiden dan wakil presiden terpilih yang dapat dilantik.
Sebelumnya, Komisioner KPU Ida Budhiati menuturkan, ada dua alternatif pemecahan masalah multi-tafsir klausul sebaran suara itu. Alternatif pertama, uji tafsir UUD 1945 dan UU Pilpres di MK. Harapannya, MK dapat memberi interpretasi yang konstitusional soal klausul "minimal 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia".
Alternatif lainnya, KPU akan menegaskan dalam peraturan KPU soal syarat presiden dan wakil presiden yang akan dilantik. Pasal 6A UUD 1945 menyebutkan, pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan minimal 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wapres.
Regulasi soal sebaran suara di provinsi juga tertuang dalam UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 159 ayat 1 disebutkan, pasangan calon terpilih mesti memperoleh suara lebih dari 50 persen dan harus memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setidaknya separuh dari total provinsi di Indonesia.
Pilpres 2014 ini diikuti dua pasangan calon. Padahal, aturan tentang penentuan pemenang berdasarkan syarat perolehan nasional dan sebaran provinsi dibuat dengan perkiraan pilpres diikuti lebih dari dua pasangan. Ketika syarat perolehan suara tidak terpenuhi pada putaran pertama, maka dilakukan putaran kedua pilpres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.