“Jokowi ini sangat lambat diusung sebagai calon presiden oleh PDI-P. Akibatnya, sosok dia jadi tidak identik dengan partainya. Orang tidak melihat sosok Jokowi di dalam tubuh PDI-P, jadi kehadiran Jokowi tidak ada pengaruhnya,” kata Hamdi, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/4/2014) malam.
Menurut Hamdi, hal yang sama juga terjadi pada partai-partai lain. Masyarakat pemilih cenderung memisahkan antara tokoh dan partai. Dia menilai, sistem pemilu di Indonesia yang multipartai telah membuat masyarakat kebingungan dalam melihat partai dan tokoh.
“Kecuali seperti Partai Gerindra dan Prabowo yang memang sudah sangat identik. Karena selama ini sudah dikampanyekan kalau Prabowo adalah Gerindra dan Gerindra adalah Prabowo. Jadi elektabilitas keduanya berbanding lurus,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Hamdi, masyarakat juga tak mengetahui bahwa untuk mengusung calon presiden harus dilakukan oleh satu atau gabungan partai yang mendapatkan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Usaha PDI-P yang sering mengampanyekan ‘PDI-P menang, Jokowi Presiden' pun akhirnya tidak berhasil.
“Mereka tetap berpendapat 'Jokowi Yes, PDI-P No',” tambah Hamdi.
Oleh karena itu, Hamdi menilai, peta pemilu presiden mendatang akan berbeda dengan peta pemilu legislatif yang baru saja berlangsung. Dia meyakini, masyarakat akan tetap memilih figur Jokowi sebagai capres.
“Kalau mau membuktikan, kita coba lihat hasil survei beberapa minggu ke depan, apakah elektabilitas Jokowi masih tinggi seperti kemarin atau justru menurun,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.