Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Anda Sudah Siap?

Kompas.com - 18/07/2012, 23:54 WIB
Tjahja Gunawan Diredja

Penulis

Tjahja Gunawan Diredja

KOMPAS.com — Pertanyaan bernada provokatif tersebut mengawali presentasi yang disampaikan Keith Lin, pengajar Nanyang Technological University, Singapura, pada pelatihan tentang media sosial bagi sejumlah wartawan Indonesia di Singapura, 4-6 Juli 2012.

Dia lantas membeberkan data tentang pertumbuhan serta penetrasi penggunaan jejaring media sosial di Asia, terutama Indonesia.

Mengutip data yang yang dirilis ComScore, Februari 2012, Keith Lin menjelaskan, 33 persen pengguna jejaring sosial di dunia berada di kawasan Asia Pasifik, sedangkan di Eropa 30 persen, Amerika Utara 18 persen, dan Amerika Latin 10 persen. Sisanya di kawasan Timur Tengah dan Afrika yang hanya 9 persen.

Sepanjang April-Juni 2012, sebanyak 43,8 juta penduduk Indonesia menggunakan Facebook. Hal ini menempatkan Indonesia pada urutan keempat di dunia dalam penggunaan Facebook setelah Amerika, Brasil, dan India. Dalam penggunaan Twitter, Indonesia masuk dalam lima besar.

Pesatnya perkembangan media sosial saat ini karena semua orang seperti bisa memiliki medianya sendiri, bahkan menumpahkan isi hati serta kekecewaan melalui media sosial.

Kini, hampir semua orang bisa mengakses media sosial melalui jaringan internet, tanpa biaya besar, tanpa alat yang mahal, serta bisa dilakukan sendiri, di mana saja dan kapan saja.

Pertanyaannya kemudian, apakah media sosial sudah digunakan untuk kegiatan positif dan produktif? Jawabannya, belum semua pengguna akun jejaring sosial menggunakan secara baik. Bahkan, jejaring sosial kerap digunakan sebagian orang atau kelompok tertentu untuk mencerca dan mencemarkan nama baik orang lain dan dipakai sebagai alat kampanye hitam untuk mendiskreditkan lawan politik dalam pemilihan kepala daerah.

Salah satu ”korban” jejaring sosial adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Dia mengaku sering mendapat cercaan dari para pengguna jejaring sosial.

”Saya sering di-bully. Sampai ada yang menulis ’Heh Tift Sembiring, apa aja kerja elo, makan gaji buta aja’,” kata Tifatul ketika berbicara dalam seminar ”Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 2012” di Institut Teknologi Bandung, sebagaimana dikutip Republika Online, Rabu (25/4).

Menanggapi cercaan itu, Tifatul hanya mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah memarahinya seperti itu. Tifatul mengaku ikut bergaul dalam jejaring sosial karena didorong rasa ingin tahu.

Sebenarnya tindak pidana pencemaran nama baik melalui media internet sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 Ayat (1) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Tak punya pekerjaan

Penggunaan situs jejaring sosial di Indonesia mengalami tantangan dan masih banyak yang menggunakannya untuk hal-hal kurang produktif. Padahal, situs jejaring tersebut bisa digunakan untuk hal-hal bermanfaat.

”Biasanya orang yang sering nge-tweet itu adalah orang yang tidak punya pekerjaan, kurang kerjaan. Lebih sering update yang tidak produktif,” kata pendiri portal berita Detikcom, Budiono Darsono, dalam diskusi ”Media Literasi pada Era Digital, Kontradiksi antara Jurnalisme dan Sosial Media” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagaimana dikutip Kompas.com, Kamis (12/7).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com