Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua Pansus: Terduga Teroris Ditahan Enam Bulan, Apa Tak Langgar HAM?

Kompas.com - 20/04/2016, 15:05 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Ahmad Syafii mengakui bahwa saat ini masih ada pro dan kontra dalam menyikapi draf RUU yang diajukan oleh pemerintah.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah aturan mengenai penahanan terduga teroris yang bisa hingga enam bulan.

"Ini mengkhawatirkan. Apakah tidak melanggar HAM? Apakah itu tidak melanggar hukum? Ini akan kami kaji dengan hati-hati dan komprehensif," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (20/4/2016).

Untuk menghadapi pro dan kontra ini, Syafii memastikan bahwa Pansus RUU Anti-Terorisme akan bekerja dengan sangat hati-hati.

Mulanya, Pansus akan mengundang Kementerian Hukum dan HAM untuk memaparkan urgensi RUU ini. (baca: Ketua Pansus: Revisi UU Anti-Terorisme Akan Berkaca Kasus Siyono)

Setelah itu, Pansus akan memanggil Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara.

Tak lupa, Pansus juga akan mengundang dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, semua ormas keagamaan, asosiasi korban teroris, forum mantan teroris, pengamat terorisme, forum rektor dan pakar hukum tata negara.

"Semua yang terkait penanganan teroris kami undang," kata Politisi Partai Gerindra ini.

Dengan masukan dari berbagai pihak, Syafii optimistis Pansus bisa melahirkan RUU yang bisa efektif memerangi terorisme. (baca: Ini Penjelasan Tito tentang Jaringan ISIS di Indonesia)

Namun, di sisi lain RUU itu juga bisa meminimalkan atau bahkan menghilangkan potensi aparat penegak hukum melakukan pelanggaran HAM.

Dia berharap, kelalaian yang dilakukan penegak hukum seperti kematian terduga teroris Siyono tak terjadi lagi kedepannya. (baca: Kata Kapolri, Tewasnya Siyono Buat Sulit Telusuri Gudang Senjata Jamaah Islamiyah)

"Perang terhadap teroris dilanjutkan, tapi tidak dengan pelanggaran hukum dan harus hormati HAM," ucap Syafii.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian sebelumnya mengakui bahwa revisi UU Anti-Terorisme menuai dilema.

(baca: Kepala BNPT Tito Karnavian: Jika "Civil Liberty" Dikorbankan Sedikit, "Why Not?")

Di satu sisi, ada kepentingan keamanan nasional yang harus dijaga. Namun, di sisi lain, penjagaan atas kepentingan nasional itu bukan tidak mungkin mengganggu kebebasan warga sipil.

Salah satu poin revisi yang disebut-sebut akan mengganggu kebebasan warga sipil adalah masa tahanan dan penangkapan yang diusulkan diperpanjang. Semula masa tahanan hanya tujuh hari, diwacanakan menjadi enam bulan.

"Ada kasus Thamrin, ada serangan Lahore, ada orang Uighur yang ada di Poso. Di Poso sendiri ada dinamika. Kemudian ada ratusan orang berangkat ke Suriah yang akan kembali. Ini semua ancaman," ujar Tito di Jakarta, Selasa (19/4/2016).

"Maka jika itu dianggap civil liberty harus dikorbankan sedikit, di antaranya dengan menambah masa penangkapan dan penahanan? Why not?," ujar Tito.

Namun, pihaknya tetap menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Panitia Khusus (Pansus) di DPR RI yang akan membahas hal tersebut.

Kompas TV Inilah Alasan Perlunya Revisi UU Terorisme
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com