Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Delik Korupsi dalam Revisi KUHP Dapat Membuat Masyarakat Trauma

Kompas.com - 16/09/2015, 08:27 WIB
Dylan Aprialdo Rachman

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, menilai keberadaan delik korupsi dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diusulkan oleh pemerintah kepada DPR membuat masyarakat trauma akan penegakan hukum di Indonesia. Abdullah menilai hal tersebut mengingatkan masyarakat kembali terhadap 13 judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan keberadaan Undang-Undang KPK.

"Saya catat 13 kali judicial review itu, cuma hanya ada 2 yang menyangkut kepentingan KPK, yaitu ketika Pak Chandra dan Pak Bibit terkena kasus 'Cicak vs Buaya'. Kedua, Pak Busyro yang baru setahun sudah digantikan karena mengikuti periode jilid II. Padahal, seharusnya masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun, tidak boleh mengikuti periode kepemimpinan sebelumnya," ujar Abdullah dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/9/2015) kemarin.

Adapun 11 judicial review lainnya, kata Abdullah, merupakan upaya untuk melemahkan kewenangan KPK. Menurut dia, wajar kalangan masyarakat sipil seperti para pegiat antikorupsi menjadi trauma dan curiga terhadap keberadaan revisi KUHP saat ini.

Ia menuturkan, pada saat draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diajukan, ada beberapa pasal yang dinilai dapat menghambat kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Salah satu pasal itu mengatur KPK sebagai lembaga hukum di bawah kontrol pengadilan negeri dan penuntutan KPK berada di bawah kontrol Kejaksaan Agung.

Abdullah mengatakan, jika revisi tersebut disetujui oleh DPR, maka akan menimbulkan masalah baru. Terkait penyadapan, misalnya, KPK harus meminta izin dulu dari pengadilan negeri atau kejaksaan agung.

Selain itu masalah lain adalah soal penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap suatu perkara kasus korupsi. Abdullah menilai Pasal 3 ayat 2 dalam RUU KUHAP memberi kesan tidak ada hukum acara khusus yang bisa dilakukan oleh KPK.

"Misal untuk melakukan penyitaan itu harus izin ke hakim komisaris, ini berarti ada persoalan. Koruptor itu kan punya kelompok, mereka punya akal. Punya bawahan dalam beberapa waktu saja mereka bisa hilangkan alat bukti, sehingga itu menyulitkan kalau penyitaan itu harus izin ke hakim komisariat atau pengadilan," kata Abdullah.

Mengenai penggeledahan, Abdullah sepakat bila kewenangan tersebut harus mendapatkan izin dari pengadilan sebagai upaya menghormati privasi seseorang.

Abdullah menyarankan agar hukum di Indonesia tetap menganut kodifikasi terbuka (pemisahan tindak pidana umum dan khusus). Menurut dia, sistem hukum kodifikasi terbuka jauh lebih baik dan bisa beradaptasi dalam menjawab potensi-potensi kejahatan baru seiring perkembangan zaman.

Jika revisi KUHP disetujui oleh DPR, Abdullah meminta agar tindak pidana khusus seperti korupsi harus dijelaskan secara rinci dalam pasal-pasal KUHP dan tetap ditangani oleh lembaga penegak hukum khusus seperti KPK.

"Jadi menurut saya amandemen undang-undang apa saja harus difokuskan dalam konteks penguatan. Dalam konteks tersebut, maka payung KUHP ini kita kuatkan. Ketika dilakukan revisi KUHP, maka cukup disampaikan dalam satu pasal saja, tetapi disebutkan rinci," ujar Abdullah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada 'Back Up', Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada "Back Up", Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Nasional
Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Nasional
“Saya kan Menteri...”

“Saya kan Menteri...”

Nasional
Zulhas Sempat Kecewa PAN Hanya Dapat 48 Kursi DPR RI pada Pemilu 2024

Zulhas Sempat Kecewa PAN Hanya Dapat 48 Kursi DPR RI pada Pemilu 2024

Nasional
Politikus PDI-P Ingatkan Pemerintah Hati-hati dalam Penegakan Hukum

Politikus PDI-P Ingatkan Pemerintah Hati-hati dalam Penegakan Hukum

Nasional
Zulhas Ngaku Sudah Serap Ilmu Jokowi, Targetkan PAN Minimal Posisi 4 di Pemilu 2029

Zulhas Ngaku Sudah Serap Ilmu Jokowi, Targetkan PAN Minimal Posisi 4 di Pemilu 2029

Nasional
Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Nasional
Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Nasional
Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Nasional
Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Nasional
Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com